Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa mulai Pemilu 2029, pelaksanaan pemilihan umum nasional (Presiden, DPR RI, DPD RI) harus dipisahkan dari pemilihan umum tingkat daerah (pilkada Gubernur/Bupati/Wali Kota serta pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). MK mengatur jeda waktu minimal 2 tahun dan maksimal 2,5 tahun antara rampungnya pemilu nasional (ditandai pelantikan Presiden, DPR, DPD) dan dimulainya pemilu daerah. Keputusan final dan mengikat ini mengharuskan perubahan desain elektoral Indonesia, dengan berbagai implikasi di bidang politik dan pemerintahan.
Aspek Politik: Dinamika Partai, Koalisi, dan Strategi Kampanye
Pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal dipandang menguntungkan
politik lokal. Selama era pemilu serentak lima kotak (Presiden, DPR, DPD,
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) dalam satu hari, kontestasi lokal kerap
tertutup euforia politik nasional. Calon anggota DPRD dan kepala daerah sering
“tenggelam” di tengah hiruk-pikuk Pilpres dan Pileg nasional. Dengan
jadwal terpisah, isu dan figur lokal dapat lebih menonjol. Partai dan
kandidat daerah dapat fokus mengangkat agenda sesuai kebutuhan daerah tanpa
sekadar menempel pada figur atau isu nasional. Publik pun bisa menilai koalisi
dan program di tingkat lokal dengan lebih jernih, memperkuat akuntabilitas
politik lokal. Penyelenggaraan pemilu lokal yang otonom memberi ruang bagi kompetisi
politik daerah berkembang lebih mandiri, sehingga kepala daerah dapat
membangun dukungan berbasis program yang kontekstual dengan kebutuhan
masyarakat setempat, tidak lagi sekadar mengikuti arus koalisi nasional semata.
Studi UNDP (2021) menunjukkan bahwa pemisahan siklus elektoral di negara
federal (misalnya Jerman dan Kanada) berhasil meningkatkan akuntabilitas
politik lokal, karena agenda nasional tidak lagi mendistorsi preferensi
pemilih di tingkat daerah.
Dari sisi dinamika
partai politik, putusan MK 135/2024 diharapkan mendorong penguatan
kelembagaan partai dan kaderisasi. Selama ini, jadwal pemilu yang beruntun
setiap 5 tahun (nasional disusul pilkada di tahun yang sama) membuat partai
harus menyiapkan ribuan calon dalam waktu hampir bersamaan. MK menilai kondisi
tersebut melemahkan proses rekrutmen ideal; partai tidak memiliki cukup waktu
menyaring kader terbaik, sehingga cenderung bersifat pragmatis dengan
mengusung figur populer atau calon non-kader demi kemenangan instan. Dalam
pertimbangan putusan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut partai “mudah
terjebak dalam pragmatisme” akibat siklus pemilu yang berimpitan, sehingga
proses pencalonan menjadi transaksional dan jauh dari ideal demokratis. Dengan
pemilu terpisah, partai diharapkan punya jeda waktu memadai untuk
konsolidasi dan kaderisasi di antara pemilu nasional dan lokal, sehingga dapat
mengajukan calon lebih berkualitas tanpa tekanan waktu yang sempit. Pengamat
pun menilai putusan ini memberi peluang bagi partai “mencetak kader berbobot”
di tingkat lokal karena kontestasi daerah tak lagi dibayangi pusat.
Baca juga : Dampak Konflik Iran-Israel pada Minyak dan Energi Indonesia
Dari segi strategi
kampanye, pemilu yang terpisah akan mengubah perencanaan partai dan
kandidat. Pada pemilu serentak 5 kotak (2019 dan 2024), partai-partai nasional
membentuk koalisi besar untuk Pilpres yang efeknya turut menentukan raihan
kursi DPR dan DPRD secara serentak. Ke depan, koalisi dapat lebih fleksibel
dan berbeda antara level nasional dan lokal, karena jeda dua tahun memberi
ruang konfigurasi ulang kekuatan politik di daerah. Partai mungkin berkoalisi
secara berbeda di pilkada sesuai kepentingan lokal, tanpa terikat sepenuhnya
dengan aliansi Pilpres. Kampanye pun bisa lebih tersegmentasi: saat pemilu
nasional, fokus isu nasional; dua tahun kemudian, kampanye pilkada dapat
terfokus murni pada isu daerah. Hal ini berpotensi meningkatkan relevansi janji
politik dengan kebutuhan konstituen setempat, sekaligus menuntut partai bekerja
lebih keras di dua siklus terpisah.
Namun, dari
perspektif politik praktis, ada tantangan dan konsekuensi yang perlu
diwaspadai. Pertama, biaya politik dan frekuensi kampanye meningkat.
Menyelenggarakan dua pemilu besar (nasional dan lokal) dalam rentang 2-3 tahun
berarti partai dan kandidat harus menjalankan kampanye nasional dan daerah
secara terpisah, sehingga total biaya dan energi kampanye bertambah. Studi
International IDEA (2022) mencatat negara-negara yang memisahkan pemilu
mengalami peningkatan belanja elektoral 30–40% dibanding pemilu
serentak. Selain itu, agenda politik bisa memasuki “modus kampanye
terus-menerus” (perpetual campaign mode). Dengan jeda singkat antar
pemilu, para elit mungkin terus sibuk mempersiapkan kontestasi berikutnya,
berpotensi mengurangi fokus pada tugas pemerintahan sehari-hari. Pengalaman
berbagai demokrasi menunjukkan seringnya pemilu dapat menimbulkan ketegangan
politik berkepanjangan dan polarisasi, jika tidak diimbangi etika politik yang
matang. Oleh sebab itu, diperlukan upaya agar pemisahan jadwal ini tidak
membuat partai abai bekerja untuk rakyat di sela pemilu. KPU dan Bawaslu juga
mengingatkan bahwa pemilu yang dipisah tetap kompleks; potensi politik uang dan
mobilisasi aparat di daerah masih ada, sehingga pengawasan harus diperkuat
meski beban sekali pesta berkurang.
Singkatnya,
secara politik putusan MK 135/2024 membuka peluang peningkatan kualitas
demokrasi: politik lokal lebih hidup, partai punya jeda memperkuat kader,
dan pemilih dapat lebih fokus menimbang pilihan. Di sisi lain, tantangan berupa
peningkatan biaya, frekuensi kontestasi, dan potensi pragmatisme jangka
pendek harus dikelola. Kuncinya ada pada penataan ulang manajemen pemilu
dan perilaku partai agar pemisahan jadwal ini benar-benar menghasilkan strategi
kampanye dan pola koalisi yang lebih sehat, bukan sekadar menambah intensitas
perebutan kekuasaan.
Dampak Terhadap Pelaksanaan Pemerintahan Pusat dan Daerah
Pelaksanaan
pemerintahan pusat dan daerah akan memasuki fase penyesuaian dengan pola pemilu
baru ini. Salah satu pertimbangan MK memisahkan pemilu adalah untuk menghindari
“perimpitan” tahapan pemilu nasional dan lokal dalam waktu bersamaan yang
membebani penyelenggara dan menyebabkan kekacauan teknis. Akan tetapi,
memisahkan jadwal pemilu berarti periode transisi antar pemerintah pusat-daerah
menjadi tidak serempak, sehingga perlu diantisipasi agar tidak mengganggu
kesinambungan administrasi dan pelayanan publik.
Masa
transisi jabatan di daerah menjadi isu krusial. Dengan jeda hingga 2,5 tahun, akan terjadi
kekosongan atau perpanjangan masa jabatan bagi pejabat daerah hasil Pemilu
2024. MK menyadari dampak ini dan memerintahkan pembuat undang-undang (DPR
bersama pemerintah) menyiapkan aturan peralihan untuk mengisi kekosongan
jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hingga digelarnya pemilu daerah
berikutnya. DPR RI telah menyatakan akan menindaklanjuti putusan ini dengan
merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada secara hati-hati dan komprehensif, termasuk
mengatur norma transisi tahun 2029–2031 agar tidak terjadi kevakuman
pemerintahan daerah. Skema yang dipertimbangkan: masa jabatan anggota
DPRD 2024 kemungkinan diperpanjang sekitar 2 tahun hingga pemilu lokal
pertama pada 2031, sedangkan untuk jabatan kepala daerah yang habis sebelum
pemilu lokal, pemerintah dapat menunjuk Penjabat (Pj.) kepala daerah
seperti praktik pengisian kekosongan selama 2022–2024. Langkah ini bertujuan
menjamin roda pemerintahan daerah tetap berjalan. Meski demikian, perpanjangan
jabatan dan penunjukan Pj. perlu disertai mekanisme kontrol agar tidak
disalahgunakan dan tetap menjunjung prinsip demokrasi.
Dampak
positif dari jeda pemilu ini, pemerintahan tidak akan mengalami pergantian
kepemimpinan di semua level secara serentak. Di satu sisi, hal ini menjaga continuity
administrasi karena pergantian pucuk pimpinan pusat dan daerah berlangsung
bergiliran. Ketika pemerintahan nasional baru terbentuk, para kepala daerah hasil
pemilu sebelumnya masih menjabat untuk meneruskan program berjalan, sehingga
ada transfer of knowledge dan pengalaman di tingkat daerah yang dapat
membantu program pusat pada awal masa jabatannya. Demikian pula, saat kepala
daerah hasil pemilu lokal dilantik dua tahun kemudian, pemerintah pusat sudah
mapan bekerja sehingga bisa memberikan arahan sinkronisasi yang lebih jelas.
Model tidak serentak ini mirip dengan pola di banyak negara federal, di
mana pemilu nasional dan sub-nasional sengaja tidak berbarengan agar
pemerintahan tidak sepenuhnya baru semua secara serempak. Hal ini berpotensi
meningkatkan kesinambungan kebijakan karena selalu ada yang “menjaga gawang”
program lama saat level lain berganti kepemimpinan.
Baca juga : Sejarah Peradaban Jawa dan Pengaruhnya terhadap Kepemimpinan Nasional Indonesia
Namun di
sisi lain, masa jeda 2 tahun lebih dapat memicu disrupsi koordinasi
jika tidak diantisipasi. Selama jeda tersebut, bisa terjadi situasi di mana
pemerintahan pusat dengan mandat baru menjalankan program prioritas, sementara
sebagian kepala daerah berada di akhir masa jabatan (lame duck) atau diisi
Penjabat yang kewenangannya terbatas. Hal ini berisiko menurunkan sinergi
pusat-daerah dalam melaksanakan proyek strategis nasional maupun pelayanan
publik lintas wilayah. Sebagai contoh, pemerintah pusat mungkin meluncurkan
kebijakan atau anggaran baru, tetapi kepala daerah yang masa baktinya hampir
habis atau Pj. yang sementara, mungkin kurang optimal menindaklanjuti karena
fokus berbeda. Fragmentasi agenda pembangunan bisa terjadi: sebagian
daerah dipimpin pejabat baru yang penuh semangat, sementara daerah lain masih
dipimpin pejabat lama yang menunggu purna tugas. Tantangan koordinatif
antarpemerintah ini mesti diantisipasi secara institusional agar tidak
mengganggu kesinambungan program pembangunan.
Untuk
mengatasi hal tersebut, perlu penyesuaian mekanisme koordinasi pusat-daerah.
Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat komunikasi selama periode
transisi. Dirjen Polpum Kemendagri menekankan pentingnya forum-forum
sinkronisasi dan monitoring khusus di masa jeda ini, agar program nasional yang
diluncurkan pasca pemilu 2029 bisa segera diimplementasikan di daerah meski
kepala daerah definitifnya belum terpilih. Selain itu, dapat dipertimbangkan
pengaturan yang memberikan otoritas terbatas namun cukup bagi Penjabat
kepala daerah untuk mengambil keputusan strategis jangka pendek, sehingga
layanan publik tidak tersendat menunggu pemilu berikutnya. Dalam jangka
panjang, perbaikan dapat dilakukan dengan desain ulang kalender pembangunan:
misalnya, penyesuaian masa periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
agar tidak terlalu jauh beririsan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) pemerintah pusat. Hal ini dibahas lebih lanjut di
bagian sinkronisasi program.
Terlepas
dari tantangan, banyak pihak optimistis bahwa pemisahan pemilu dapat mengurai
beban dan meningkatkan kualitas tata kelola. Beban kerja penyelenggara
pemilu yang sebelumnya menumpuk dalam satu tahun akan tersebar, sehingga KPU
dan jajaran di daerah dapat bekerja lebih manusiawi dan fokus. Tragedi Pemilu 2019,
di mana 894 petugas KPPS meninggal dan 5.000 lebih sakit karena
kelelahan dalam pemilu serentak, diharapkan tak terulang dengan terbaginya
tahapan. KPU akan memiliki rentang waktu yang lebih proporsional untuk tiap
pesta demokrasi, meningkatkan kualitas pelatihan petugas, akurasi daftar
pemilih, dan distribusi logistik tanpa tergesa-gesa. Secara administratif,
proses rekapitulasi suara dan penyelesaian sengketa pun dapat lebih terfokus,
karena tidak mencakup lima kotak sekaligus. Efisiensi internal lembaga
penyelenggara berpotensi naik meski interval pemilu lebih rapat; Arief Hidayat
mencatat masa kerja KPU lima tahunan sebelumnya tidak efektif karena 3 tahun
diantaranya hanya rutinitas administratif, sedangkan 2 tahun sangat sibuk
jelang pemilu. Dengan dua event besar, KPU justru bisa bekerja lebih merata
setiap tahunnya.
Secara
keseluruhan, stabilitas pemerintahan pusat-daerah harus tetap terjaga
selama transisi menuju sistem baru ini. DPR berjanji memastikan transisi
berlangsung mulus dan hak pilih rakyat serta stabilitas pemerintahan tidak
terganggu. Koordinasi lintas lembaga, baik eksekutif maupun legislatif, akan
menentukan apakah pemisahan pemilu ini memperkuat atau justru menguji ketahanan
sistem administrasi kita. Yang jelas, penyesuaian regulasi (UU Pemilu, UU
Pilkada, UU Pemerintahan Daerah, dsb.) mesti segera dibahas dengan melibatkan
pakar agar semua skenario transisi tertata rapi.
Implikasi terhadap Sinkronisasi Program Nasional dan Daerah
Sinkronisasi
program pembangunan nasional dan daerah menjadi perhatian utama pasca putusan ini. Alasan
historis diberlakukannya pemilu serentak pada 2019 salah satunya adalah agar
awal masa jabatan Presiden dan kepala daerah berdekatan, sehingga perencanaan
pembangunan pusat-daerah bisa diselaraskan sejak awal masa jabatan. Ibaratnya,
Presiden dan para kepala daerah dapat mulai “menyanyikan lagu pembangunan dalam
irama yang sama” di awal periode. Pemisahan pemilu berarti asumsi keselarasan
otomatis melalui kesamaan start pemerintahan tidak lagi ada. Akibatnya,
perlu ada strategi baru agar program nasional dan daerah tetap sinkron meski tempo
politik berbeda.
Potensi
masalah yang dikhawatirkan adalah fragmentasi arah pembangunan.
Pemerintah pusat mungkin menetapkan prioritas nasional baru (misal target
investasi, proyek strategis nasional, program sosial) segera setelah Pemilu
Presiden, sementara di lapangan kepala daerah berada dalam siklus politik
berlainan: sebagian baru terpilih dua tahun kemudian, sebagian lainnya sudah
mendekati akhir masa jabatan ketika program pusat dimulai. Situasi ini bisa
membuat implementasi program nasional tidak seragam. Sebagai contoh,
jika pemerintah pusat 2029 memiliki agenda besar reformasi birokrasi dan
digitalisasi sampai ke tingkat desa, efektivitasnya akan bergantung pada dukungan
kepala daerah. Kepala daerah hasil Pilkada 2024 (yang menjabat sampai 2029)
mungkin antusias mendukung di sisa waktu, tetapi begitu masa jabatannya habis,
program bisa terhenti sementara menunggu kepala daerah baru 2031. Ketidaksinkronan
siklus ini berpotensi mengganggu kelanjutan program jika transisi tidak
dikelola baik. Fenomena serupa terlihat di negara yang pemilu pusat-daerahnya
terpisah: di Amerika Serikat misalnya, sering terjadi perubahan kebijakan di
tingkat negara bagian setelah pemilu midterm yang tidak sejalan dengan
kebijakan federal baru. Tanpa forum koordinasi, hal ini dapat menghambat proyek
nasional yang memerlukan peran pemda.
Meski
demikian, para pakar berpendapat sinkronisasi program tidak harus bergantung
pada jadwal pemilu yang serentak. Kunci harmonisasi ada pada mekanisme
koordinasi dan perencanaan lintas level. Inovasi tata kelola diperlukan
untuk menjawab tantangan ini. Pertama, penyusunan dokumen perencanaan
pembangunan harus diintegrasikan lebih baik. Disarankan melakukan peninjauan
ulang siklus RPJMN dan RPJMD agar tetap selaras meski jadwal pemilu
beda. Misalnya, RPJMN nasional 2025–2029 akan dievaluasi di 2029; pada saat
itu, bisa disiapkan kerangka RPJMN 2030–2034 yang menjadi acuan bagi daerah
menyusun RPJMD pasca Pilkada 2031, sehingga ketika kepala daerah baru dilantik,
sudah ada panduan sinkronisasi dengan visi nasional jangka menengah. Kedua,
perlu forum dialog rutin antar pemerintah pusat dan daerah. Forum
seperti Musyawarah Pembangunan Nasional/Daerah (Musrenbang) bisa diperkuat
frekuensinya. Demikian pula forum koordinasi sektoral (Misalnya Rakor antara
kementerian dan dinas daerah) harus dimanfaatkan untuk menyelaraskan program
setiap tahun. Negara-negara federal maju menunjukkan bahwa dialog
institusional rutin jauh lebih penting untuk sinkronisasi daripada sekadar
menyamakan jadwal pemilu. Di Jerman dan Kanada, meski pemilu federal dan negara
bagian terpisah, mereka menjaga keselarasan kebijakan melalui konsultasi
antar-pemerintah, akses data bersama lintas sektor, dan mekanisme akuntabilitas
lintas level. Indonesia dapat meniru dengan memperkuat koordinasi Kemendagri,
Bappenas, dan kementerian teknis dengan pemerintah daerah secara struktural.
Baca juga : Dampak Konflik Iran-Israel pada Minyak dan Energi Indonesia
Ketiga, instrumen
insentif fiskal bisa menjadi alat sinkronisasi. MK dalam pertimbangannya
menyebut perlunya sistem insentif yang terukur agar pusat-daerah tetap satu
irama meski berbeda tempo. Artinya, pemerintah pusat dapat memberikan Dana
Insentif Daerah (DID) atau penghargaan anggaran lain bagi daerah yang berhasil
melaksanakan program nasional prioritas, terlepas kapan pilkadanya. Ini
mendorong daerah tetap menjalankan agenda nasional walau siklus politik
berbeda. Keempat, peningkatan peran pengawasan non-pemerintah. Dengan tidak
bersamaan, ada jeda di mana pusat atau daerah tanpa legitimasi electoral baru.
Lembaga seperti DPRD dan DPR RI, juga media dan masyarakat sipil, mesti
mengawal agar program pemerintah tidak mandek dalam masa transisi. Misal,
ketika kepala daerah dijabat Penjabat, DPRD harus aktif memastikan program
pusat yang butuh eksekusi daerah tetap berjalan.
Perlu
dicatat, sinkronisasi program bukan hanya tantangan Indonesia. Hanya 16 dari
200 negara yang mengadakan pemilu nasional dan lokal bersamaan sepenuhnya;
mayoritas negara lain menjalankan siklus terpisah. Banyak negara sukses
membangun keselarasan lintas level meski pemilu tidak serentak. Contoh, Amerika
Serikat memisahkan pemilu Presiden (tiap 4 tahun) dengan pemilu paruh waktu
untuk Kongres (tiap 2 tahun di sela) sehingga pemilih dapat fokus isu berbeda
di tiap pemilihan. Meskipun hal ini kadang menghasilkan pembagian kekuasaan
(misal Presiden dari partai X, DPR dikuasai partai Y pasca midterm), sistem
pemerintahan tetap stabil karena mekanisme check and balance dan tradisi
kompromi kebijakan. Jerman juga menggelar pemilu federal (Bundestag) dan
pemilu negara bagian (Landtag) pada jadwal terpisah; hasilnya, partisipasi
warga terjaga tinggi di kedua level karena setiap pemilihan dianggap penting
pada kualitasnya sendiri. Di Jerman, kualitas partisipasi dan representasi
dianggap lebih utama daripada kecepatan atau efisiensi semu dari pemilu
serentak. Pemerintahan federal dan Länder berkoordinasi melalui Bundesrat
(semacam dewan perwakilan daerah) untuk menyinkronkan kebijakan, alih-alih
mengandalkan keserentakan pemilu.
Berkaca dari
pengalaman internasional dan rekomendasi pakar, Indonesia dapat menjaga
sinkronisasi program nasional-daerah melalui perencanaan terpadu dan koordinasi
intensif. Pemisahan pemilu justru menjadi momentum untuk menata ulang hubungan
pusat-daerah yang lebih strategis. Harmonisasi tak lagi mengandalkan
kesamaan start jabatan, melainkan penyamaan visi dan target yang
disepakati bersama. Dengan forum komunikasi reguler, transparansi data
pembangunan, dan akuntabilitas bersama, pembangunan pusat-daerah tetap dapat
berjalan paralel meski siklus politik berbeda tempo. Pada akhirnya,
keberhasilan sinkronisasi ini akan tercermin dari seberapa mulus program
prioritas nasional dapat dijalankan di daerah pada masa transisi 2029–2031 dan
seterusnya. Jika koordinasi kuat, rakyat kemungkinan tidak terlalu merasakan
adanya perbedaan ritme politik; yang mereka lihat adalah kesinambungan layanan
dan pembangunan.
Perbandingan Internasional: Praktik Pemisahan Pemilu di Negara Lain
Banyak negara di dunia memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal, dan Indonesia bukan pengecualian dalam hal ini. Menurut data International IDEA (2023), hanya 16 dari 200 negara yang mengadakan pemilu nasional dan sub-nasional secara serentak penuh; artinya mayoritas negara justru menjalankan pemilu tingkat nasional dan lokal di waktu berbeda-beda. Pola ini lazim terutama di negara-negara dengan sistem federal atau desentralisasi tinggi, walaupun negara unitary juga banyak yang memisah jadwal pemilu pusat-daerah. Berikut beberapa contoh dan dampaknya:
Amerika Serikat
Sebagai negara federasi, AS memiliki jadwal terpisah untuk pemilu nasional dan negara bagian/lokal. Pemilu Presiden dan Kongres digelar setiap 4 tahun (Presiden) dan 2 tahun (DPR tiap 2 tahun, Senat sepertiga tiap 2 tahun), sementara pemilu Gubernur, legislatif negara bagian, hingga walikota tersebar dan sering jatuh tidak bersamaan dengan pemilu federal. Tujuannya agar pemilih dapat fokus pada isu sesuai level pemerintahan yang dipilih. Dampaknya, pemilih AS umumnya membedakan preferensi mereka antara pemilu nasional dan lokal. Stabilitas pemerintahan dijaga dengan masa jabatan tetap (Presiden 4 tahun, anggota DPR 2 tahun, Senator 6 tahun) sehingga meskipun hasil pemilu midterm bisa mengubah mayoritas di parlemen, roda pemerintahan pusat tetap berjalan dengan pemerintah yang ada (tidak ada pembubaran pemerintahan karena sistem presidensial). Stabilitas politik terjamin oleh konstitusi, meski terjadinya “divided government” (Presiden vs mayoritas oposisi di Kongres) kerap memaksa kompromi kebijakan. Dari sisi efisiensi kebijakan, terpisahnya jadwal membuat pemerintah pusat memiliki periode evaluasi di midterm: jika kinerja buruk, akan dikoreksi oleh pemilih dengan memilih oposisi di Kongres. Ini dianggap meningkatkan akuntabilitas, walau diakui bisa menghambat kelancaran agenda Presiden (gridlock) jika polarisasi tinggi. Namun AS menangani ini melalui sistem checks and balances dan federalisme yang jelas pembagian kewenangannya, sehingga kebijakan di tingkat federal dan state bisa berbeda tanpa mengganggu stabilitas nasional.
Jerman
Di Jerman, pemilu Bundestag (parlemen federal) dilakukan tiap 4 tahun, terpisah dari pemilu Landtag (parlemen negara bagian) yang jadwalnya berbeda di masing-masing 16 Länder. Tujuan utamanya untuk menjamin efektivitas partisipasi – pemilih dapat memberikan perhatian penuh pada politik federal saat pemilu nasional, dan fokus pada isu regional saat pemilu negara bagian. Sistem ini dianggap memperkuat kualitas demokrasi: angka partisipasi di kedua level cukup tinggi, dan pilihan pemilih di negara bagian lebih otonom tidak selalu mengikuti tren nasional. Stabilitas pemerintahan terjaga karena pembentukan pemerintah federal tidak terkait langsung dengan hasil pemilu di negara bagian (meski partai bisa kena “efek ikutan” politik nasional, tetap ada jeda waktu dan faktor lokal yang mempengaruhi). Misalnya, partai petahana di federal mungkin kalah di beberapa pemilu negara bagian jika kebijakan nasionalnya tidak populer, tapi hal itu tidak menjatuhkan pemerintahan federal, hanya menjadi sinyal politik untuk evaluasi. Dalam hal efisiensi kebijakan, Jerman mengandalkan mekanisme Bundesrat (dewan perwakilan negara bagian di pusat) untuk memastikan kepentingan daerah diakomodasi dalam legislasi nasional. Walau jadwal pemilu berbeda, kebijakan nasional-daerah disinkronkan melalui koordinasi formal. Jadi, terpisahnya siklus tidak menurunkan efisiensi; justru dianggap membuat kebijakan lebih matang dan berlegitimasi karena proses perumusan kebijakan berjalan terus tanpa terganggu jadwal pemilu serentak. Seperti dikemukakan pengamat, di Jerman kualitas hasil pemilu dan kebijakan lebih diutamakan daripada kecepatan atau “kemudahan” akibat keserentakan.
India
India dapat menjadi studi banding sebaliknya, yakni negara yang awal kemerdekaan punya siklus pemilu nasional dan negara bagian bersamaan, namun kemudian terpisah. Pemilu Lok Sabha (parlemen nasional) dijadwalkan 5 tahunan, sedangkan pemilu Majelis Legislatif Negara Bagian bervariasi dan kini hampir setiap tahun ada pemilu di beberapa negara bagian. Dampaknya, India mengalami apa yang disebut banyak analis sebagai “pemilu terus-menerus”, di mana setiap tahun selalu ada kontestasi elektoral besar. Ini memicu wacana “One Nation, One Election” untuk menyatukan kembali jadwal pemilu demi efisiensi biaya dan waktu pemerintah. Dari sisi stabilitas pemerintahan, sebenarnya India tetap stabil – pemerintah pusat hasil pemilu nasional berkuasa penuh masa 5 tahun, terlepas dari hasil pemilu negara bagian. Namun, pemerintah (baik pusat maupun negara bagian) sering menerapkan kebijakan populis jangka pendek menjelang berbagai pemilu lokal, yang sedikit banyak memengaruhi disiplin fiskal dan konsistensi kebijakan jangka panjang. Efisiensi kebijakan bisa terganggu karena kode etik pemilu (model caretaker government) sering diberlakukan di negara bagian menjelang pemilu, membatasi pengambilan keputusan kebijakan selama periode tersebut. Ini menandakan bahwa pemilu terpisah yang terlalu sering dapat menghambat ritme kebijakan yang stabil. Tak heran, wacana menyinkronkan pemilu muncul sebagai solusi, walaupun tantangannya besar. Kasus India menjadi pengingat bahwa pemisahan pemilu perlu didesain agar jadwalnya tidak berlebihan frekuensinya dan mekanisme transisi kebijakan diatur jelas, supaya tidak terus-menerus mengganggu jalannya pemerintahan.
Kanada dan Inggris
Kedua negara ini juga memisahkan pemilu nasional dengan lokal (provinsi/state atau daerah). Kanada mirip federal model: pemilu Parlemen federal tiap 4 tahun, pemilu provinsi diatur masing-masing (umumnya terpisah). Mereka mengandalkan Council of the Federation dan pertemuan rutin PM dengan para Premier (kepala provinsi) untuk menyelaraskan kebijakan antar level, sehingga stabilitas federasi terjaga meski politik elektoralnya asynchronous. Inggris sebagai negara kesatuan mengadakan pemilu parlemen nasional setiap 5 tahun, sementara pemilu lokal (dewan kotapraja, walikota) diadakan hampir setiap tahun dengan skala berbeda. Dampaknya, partai berkuasa di pusat bisa dievaluasi publik melalui pemilu lokal mid-term, tapi pemerintah nasional tetap berjalan penuh karena sistem parlementer (pemilu lokal tidak memengaruhi keabsahan pemerintah pusat). Efisiensi kebijakan di Inggris tidak banyak terpengaruh siklus lokal, karena kewenangan pemerintah lokal terbatas dan pendanaan banyak ditentukan pusat. Hal menarik, pemilu terpisah di Inggris justru digunakan sebagai barometer politik: kekalahan partai pemerintah di pemilu lokal sering jadi alarm untuk mengoreksi program atau mengganti pimpinan sebelum pemilu nasional berikutnya.
Dari
berbagai perbandingan di atas, tampak bahwa pemisahan pemilu bukan hal asing
di dunia. Dampaknya beragam, tetapi ada benang merah: (a) Stabilitas
pemerintahan tetap terjaga asalkan aturan main konstitusional jelas (masa
jabatan fixed, tidak tergantung pemilu lain) dan ada kultur politik menerima
hasil pemilu di tiap level. (b) Efisiensi kebijakan bisa
terpelihara melalui koordinasi antar pemerintah dan institusi perumus kebijakan
lintas level. Negara-negara maju menunjukkan bahwa jadwal pemilu yang berbeda
dapat diimbangi dengan mekanisme integrasi kebijakan yang terstruktur.
Bahkan, beberapa ahli menilai model pemilu tidak serentak lebih “manusiawi” dan
adaptif bagi masyarakat majemuk. Demokrasi yang baik bukan soal seberapa
serentak memilih, tapi seberapa efektif representasi yang dihasilkan dan
seberapa stabil pemerintah bekerja di semua tingkat.
Pelajaran
bagi Indonesia: dengan
pemilu nasional dan daerah terpisah, Indonesia bergabung dengan pola umum
dunia. Pengalaman negara lain memberi petunjuk agar kita memperkuat kelembagaan
koordinasi pusat-daerah, memastikan ada forum rutin pasca pemilu untuk
menyelaraskan agenda. Selain itu, perlu mengantisipasi frekuensi pemilu
supaya tidak terlalu sering mengganggu jalannya pemerintahan: misalnya
mengelompokkan pemilu-pemilu lokal dalam satu tahun tertentu (seperti Pilkada
serentak regional) agar tidak setiap tahun ada pemilu besar. Dari segi
pembiayaan, pemerintah harus siap mengalokasikan anggaran lebih, namun dapat
belajar efisiensi dari negara-negara dengan pemilu terpisah dan memanfaatkan
teknologi untuk menekan biaya. Yang tak kalah penting, edukasi politik
masyarakat perlu ditingkatkan agar pemilih memahami isu di tiap level
pemerintahan dan terhindar dari kelelahan memilih. Dengan demikian, terpisahnya
pemilu justru akan mencerdaskan pemilih – mereka dapat lebih mendalami
visi-misi calon di tiap level tanpa tekanan informasi berlebih – sehingga hasil
yang didapat adalah pemimpin pusat dan daerah yang sama-sama legitimate dan
efektif.
Kesimpulan
Putusan MK
No. 135/PUU-XXII/2024 menghadirkan perubahan fundamental dalam arsitektur
pemilu Indonesia. Aspek politik diproyeksikan lebih sehat dengan ruang
bagi isu lokal, penguatan kader partai, dan kampanye yang lebih fokus, meskipun
tantangan biaya dan potensi “kampanye abadi” perlu dikendalikan. Pelaksanaan
pemerintahan diharap lebih terjaga dari sisi beban kerja dan kesinambungan
administratif, asalkan transisi diatur rapi untuk mencegah kevakuman dan
fragmentasi koordinasi. Sinkronisasi program pusat-daerah memang tidak
otomatis lagi lewat keserentakan jabatan, tapi dapat dicapai lewat penataan
siklus perencanaan, dialog intensif, dan insentif kebijakan lintas level.
Secara internasional, model ini sejalan dengan praktik banyak demokrasi
yang berhasil mempertahankan stabilitas dan efisiensi pemerintahannya melalui
mekanisme federalisme dan koordinasi antar-pemerintah, meskipun harus
diwaspadai pula sisi negatif berupa frekuensi kontestasi yang lebih tinggi.
Akhirnya, keberhasilan pemisahan pemilu ini sangat bergantung pada langkah lanjut: revisi regulasi pemilu secara menyeluruh, penguatan institusi penyelenggara di pusat dan daerah, serta komitmen para aktor politik untuk beradaptasi dengan semangat baru pemilu yang lebih ideal. Dengan persiapan matang, pemilu nasional dan daerah yang terpisah dapat “memberi napas” bagi demokrasi Indonesia – menciptakan pemilu yang lebih bermakna bagi rakyat, meningkatkan kualitas kepemimpinan di tiap level, tanpa mengorbankan stabilitas pemerintahan dan kesinambungan pembangunan.
Sumber Referensi :
Anggota DPR hormati putusan MK soal pemisahan pemilu - ANTARA News
Perludem Dorong Revisi UU Segera Dimulai Usai Putusan MK soal Pemilu Nasional-Daerah Dipisah
Pengamat: Pemisahan pemilu beri ruang politik lokal lebih menonjol - ANTARA News
MK Putuskan Pisah Pemilu Nasional dan Daerah, Apa Alasannya? - MetroTV News
Ketika Pemilu 2029 Dipisah: Untung atau Rugi? - DetikNews
Mengapa MK memisahkan pemilu nasional dan lokal mulai 2029? - ANTARA News
Perludem: Putusan MK Jadi Momen Tepat Bahas Revisi UU Pemilu-Pilkada | IDN Times
Pemilu Pusat dan Daerah Tak Lagi Serentak: Mengurai Beban, Mencari Napas - Kompas
Dampak Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah - Riau24