Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional & Daerah: Napas Baru Demokrasi atau Tantangan Baru?



Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa mulai Pemilu 2029, pelaksanaan pemilihan umum nasional (Presiden, DPR RI, DPD RI) harus dipisahkan dari pemilihan umum tingkat daerah (pilkada Gubernur/Bupati/Wali Kota serta pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). MK mengatur jeda waktu minimal 2 tahun dan maksimal 2,5 tahun antara rampungnya pemilu nasional (ditandai pelantikan Presiden, DPR, DPD) dan dimulainya pemilu daerah. Keputusan final dan mengikat ini mengharuskan perubahan desain elektoral Indonesia, dengan berbagai implikasi di bidang politik dan pemerintahan.

Aspek Politik: Dinamika Partai, Koalisi, dan Strategi Kampanye

Pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal dipandang menguntungkan politik lokal. Selama era pemilu serentak lima kotak (Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) dalam satu hari, kontestasi lokal kerap tertutup euforia politik nasional. Calon anggota DPRD dan kepala daerah sering “tenggelam” di tengah hiruk-pikuk Pilpres dan Pileg nasional. Dengan jadwal terpisah, isu dan figur lokal dapat lebih menonjol. Partai dan kandidat daerah dapat fokus mengangkat agenda sesuai kebutuhan daerah tanpa sekadar menempel pada figur atau isu nasional. Publik pun bisa menilai koalisi dan program di tingkat lokal dengan lebih jernih, memperkuat akuntabilitas politik lokal. Penyelenggaraan pemilu lokal yang otonom memberi ruang bagi kompetisi politik daerah berkembang lebih mandiri, sehingga kepala daerah dapat membangun dukungan berbasis program yang kontekstual dengan kebutuhan masyarakat setempat, tidak lagi sekadar mengikuti arus koalisi nasional semata. Studi UNDP (2021) menunjukkan bahwa pemisahan siklus elektoral di negara federal (misalnya Jerman dan Kanada) berhasil meningkatkan akuntabilitas politik lokal, karena agenda nasional tidak lagi mendistorsi preferensi pemilih di tingkat daerah.

Dari sisi dinamika partai politik, putusan MK 135/2024 diharapkan mendorong penguatan kelembagaan partai dan kaderisasi. Selama ini, jadwal pemilu yang beruntun setiap 5 tahun (nasional disusul pilkada di tahun yang sama) membuat partai harus menyiapkan ribuan calon dalam waktu hampir bersamaan. MK menilai kondisi tersebut melemahkan proses rekrutmen ideal; partai tidak memiliki cukup waktu menyaring kader terbaik, sehingga cenderung bersifat pragmatis dengan mengusung figur populer atau calon non-kader demi kemenangan instan. Dalam pertimbangan putusan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut partai “mudah terjebak dalam pragmatisme” akibat siklus pemilu yang berimpitan, sehingga proses pencalonan menjadi transaksional dan jauh dari ideal demokratis. Dengan pemilu terpisah, partai diharapkan punya jeda waktu memadai untuk konsolidasi dan kaderisasi di antara pemilu nasional dan lokal, sehingga dapat mengajukan calon lebih berkualitas tanpa tekanan waktu yang sempit. Pengamat pun menilai putusan ini memberi peluang bagi partai “mencetak kader berbobot” di tingkat lokal karena kontestasi daerah tak lagi dibayangi pusat.

Baca juga : Dampak Konflik Iran-Israel pada Minyak dan Energi Indonesia

Dari segi strategi kampanye, pemilu yang terpisah akan mengubah perencanaan partai dan kandidat. Pada pemilu serentak 5 kotak (2019 dan 2024), partai-partai nasional membentuk koalisi besar untuk Pilpres yang efeknya turut menentukan raihan kursi DPR dan DPRD secara serentak. Ke depan, koalisi dapat lebih fleksibel dan berbeda antara level nasional dan lokal, karena jeda dua tahun memberi ruang konfigurasi ulang kekuatan politik di daerah. Partai mungkin berkoalisi secara berbeda di pilkada sesuai kepentingan lokal, tanpa terikat sepenuhnya dengan aliansi Pilpres. Kampanye pun bisa lebih tersegmentasi: saat pemilu nasional, fokus isu nasional; dua tahun kemudian, kampanye pilkada dapat terfokus murni pada isu daerah. Hal ini berpotensi meningkatkan relevansi janji politik dengan kebutuhan konstituen setempat, sekaligus menuntut partai bekerja lebih keras di dua siklus terpisah.

Namun, dari perspektif politik praktis, ada tantangan dan konsekuensi yang perlu diwaspadai. Pertama, biaya politik dan frekuensi kampanye meningkat. Menyelenggarakan dua pemilu besar (nasional dan lokal) dalam rentang 2-3 tahun berarti partai dan kandidat harus menjalankan kampanye nasional dan daerah secara terpisah, sehingga total biaya dan energi kampanye bertambah. Studi International IDEA (2022) mencatat negara-negara yang memisahkan pemilu mengalami peningkatan belanja elektoral 30–40% dibanding pemilu serentak. Selain itu, agenda politik bisa memasuki “modus kampanye terus-menerus” (perpetual campaign mode). Dengan jeda singkat antar pemilu, para elit mungkin terus sibuk mempersiapkan kontestasi berikutnya, berpotensi mengurangi fokus pada tugas pemerintahan sehari-hari. Pengalaman berbagai demokrasi menunjukkan seringnya pemilu dapat menimbulkan ketegangan politik berkepanjangan dan polarisasi, jika tidak diimbangi etika politik yang matang. Oleh sebab itu, diperlukan upaya agar pemisahan jadwal ini tidak membuat partai abai bekerja untuk rakyat di sela pemilu. KPU dan Bawaslu juga mengingatkan bahwa pemilu yang dipisah tetap kompleks; potensi politik uang dan mobilisasi aparat di daerah masih ada, sehingga pengawasan harus diperkuat meski beban sekali pesta berkurang.

Singkatnya, secara politik putusan MK 135/2024 membuka peluang peningkatan kualitas demokrasi: politik lokal lebih hidup, partai punya jeda memperkuat kader, dan pemilih dapat lebih fokus menimbang pilihan. Di sisi lain, tantangan berupa peningkatan biaya, frekuensi kontestasi, dan potensi pragmatisme jangka pendek harus dikelola. Kuncinya ada pada penataan ulang manajemen pemilu dan perilaku partai agar pemisahan jadwal ini benar-benar menghasilkan strategi kampanye dan pola koalisi yang lebih sehat, bukan sekadar menambah intensitas perebutan kekuasaan.

Dampak Terhadap Pelaksanaan Pemerintahan Pusat dan Daerah

Pelaksanaan pemerintahan pusat dan daerah akan memasuki fase penyesuaian dengan pola pemilu baru ini. Salah satu pertimbangan MK memisahkan pemilu adalah untuk menghindari “perimpitan” tahapan pemilu nasional dan lokal dalam waktu bersamaan yang membebani penyelenggara dan menyebabkan kekacauan teknis. Akan tetapi, memisahkan jadwal pemilu berarti periode transisi antar pemerintah pusat-daerah menjadi tidak serempak, sehingga perlu diantisipasi agar tidak mengganggu kesinambungan administrasi dan pelayanan publik.

Masa transisi jabatan di daerah menjadi isu krusial. Dengan jeda hingga 2,5 tahun, akan terjadi kekosongan atau perpanjangan masa jabatan bagi pejabat daerah hasil Pemilu 2024. MK menyadari dampak ini dan memerintahkan pembuat undang-undang (DPR bersama pemerintah) menyiapkan aturan peralihan untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hingga digelarnya pemilu daerah berikutnya. DPR RI telah menyatakan akan menindaklanjuti putusan ini dengan merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada secara hati-hati dan komprehensif, termasuk mengatur norma transisi tahun 2029–2031 agar tidak terjadi kevakuman pemerintahan daerah. Skema yang dipertimbangkan: masa jabatan anggota DPRD 2024 kemungkinan diperpanjang sekitar 2 tahun hingga pemilu lokal pertama pada 2031, sedangkan untuk jabatan kepala daerah yang habis sebelum pemilu lokal, pemerintah dapat menunjuk Penjabat (Pj.) kepala daerah seperti praktik pengisian kekosongan selama 2022–2024. Langkah ini bertujuan menjamin roda pemerintahan daerah tetap berjalan. Meski demikian, perpanjangan jabatan dan penunjukan Pj. perlu disertai mekanisme kontrol agar tidak disalahgunakan dan tetap menjunjung prinsip demokrasi.

Dampak positif dari jeda pemilu ini, pemerintahan tidak akan mengalami pergantian kepemimpinan di semua level secara serentak. Di satu sisi, hal ini menjaga continuity administrasi karena pergantian pucuk pimpinan pusat dan daerah berlangsung bergiliran. Ketika pemerintahan nasional baru terbentuk, para kepala daerah hasil pemilu sebelumnya masih menjabat untuk meneruskan program berjalan, sehingga ada transfer of knowledge dan pengalaman di tingkat daerah yang dapat membantu program pusat pada awal masa jabatannya. Demikian pula, saat kepala daerah hasil pemilu lokal dilantik dua tahun kemudian, pemerintah pusat sudah mapan bekerja sehingga bisa memberikan arahan sinkronisasi yang lebih jelas. Model tidak serentak ini mirip dengan pola di banyak negara federal, di mana pemilu nasional dan sub-nasional sengaja tidak berbarengan agar pemerintahan tidak sepenuhnya baru semua secara serempak. Hal ini berpotensi meningkatkan kesinambungan kebijakan karena selalu ada yang “menjaga gawang” program lama saat level lain berganti kepemimpinan.

Baca juga : Sejarah Peradaban Jawa dan Pengaruhnya terhadap Kepemimpinan Nasional Indonesia

Namun di sisi lain, masa jeda 2 tahun lebih dapat memicu disrupsi koordinasi jika tidak diantisipasi. Selama jeda tersebut, bisa terjadi situasi di mana pemerintahan pusat dengan mandat baru menjalankan program prioritas, sementara sebagian kepala daerah berada di akhir masa jabatan (lame duck) atau diisi Penjabat yang kewenangannya terbatas. Hal ini berisiko menurunkan sinergi pusat-daerah dalam melaksanakan proyek strategis nasional maupun pelayanan publik lintas wilayah. Sebagai contoh, pemerintah pusat mungkin meluncurkan kebijakan atau anggaran baru, tetapi kepala daerah yang masa baktinya hampir habis atau Pj. yang sementara, mungkin kurang optimal menindaklanjuti karena fokus berbeda. Fragmentasi agenda pembangunan bisa terjadi: sebagian daerah dipimpin pejabat baru yang penuh semangat, sementara daerah lain masih dipimpin pejabat lama yang menunggu purna tugas. Tantangan koordinatif antarpemerintah ini mesti diantisipasi secara institusional agar tidak mengganggu kesinambungan program pembangunan.

Untuk mengatasi hal tersebut, perlu penyesuaian mekanisme koordinasi pusat-daerah. Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat komunikasi selama periode transisi. Dirjen Polpum Kemendagri menekankan pentingnya forum-forum sinkronisasi dan monitoring khusus di masa jeda ini, agar program nasional yang diluncurkan pasca pemilu 2029 bisa segera diimplementasikan di daerah meski kepala daerah definitifnya belum terpilih. Selain itu, dapat dipertimbangkan pengaturan yang memberikan otoritas terbatas namun cukup bagi Penjabat kepala daerah untuk mengambil keputusan strategis jangka pendek, sehingga layanan publik tidak tersendat menunggu pemilu berikutnya. Dalam jangka panjang, perbaikan dapat dilakukan dengan desain ulang kalender pembangunan: misalnya, penyesuaian masa periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) agar tidak terlalu jauh beririsan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah pusat. Hal ini dibahas lebih lanjut di bagian sinkronisasi program.

Terlepas dari tantangan, banyak pihak optimistis bahwa pemisahan pemilu dapat mengurai beban dan meningkatkan kualitas tata kelola. Beban kerja penyelenggara pemilu yang sebelumnya menumpuk dalam satu tahun akan tersebar, sehingga KPU dan jajaran di daerah dapat bekerja lebih manusiawi dan fokus. Tragedi Pemilu 2019, di mana 894 petugas KPPS meninggal dan 5.000 lebih sakit karena kelelahan dalam pemilu serentak, diharapkan tak terulang dengan terbaginya tahapan. KPU akan memiliki rentang waktu yang lebih proporsional untuk tiap pesta demokrasi, meningkatkan kualitas pelatihan petugas, akurasi daftar pemilih, dan distribusi logistik tanpa tergesa-gesa. Secara administratif, proses rekapitulasi suara dan penyelesaian sengketa pun dapat lebih terfokus, karena tidak mencakup lima kotak sekaligus. Efisiensi internal lembaga penyelenggara berpotensi naik meski interval pemilu lebih rapat; Arief Hidayat mencatat masa kerja KPU lima tahunan sebelumnya tidak efektif karena 3 tahun diantaranya hanya rutinitas administratif, sedangkan 2 tahun sangat sibuk jelang pemilu. Dengan dua event besar, KPU justru bisa bekerja lebih merata setiap tahunnya.

Secara keseluruhan, stabilitas pemerintahan pusat-daerah harus tetap terjaga selama transisi menuju sistem baru ini. DPR berjanji memastikan transisi berlangsung mulus dan hak pilih rakyat serta stabilitas pemerintahan tidak terganggu. Koordinasi lintas lembaga, baik eksekutif maupun legislatif, akan menentukan apakah pemisahan pemilu ini memperkuat atau justru menguji ketahanan sistem administrasi kita. Yang jelas, penyesuaian regulasi (UU Pemilu, UU Pilkada, UU Pemerintahan Daerah, dsb.) mesti segera dibahas dengan melibatkan pakar agar semua skenario transisi tertata rapi.

Implikasi terhadap Sinkronisasi Program Nasional dan Daerah

Sinkronisasi program pembangunan nasional dan daerah menjadi perhatian utama pasca putusan ini. Alasan historis diberlakukannya pemilu serentak pada 2019 salah satunya adalah agar awal masa jabatan Presiden dan kepala daerah berdekatan, sehingga perencanaan pembangunan pusat-daerah bisa diselaraskan sejak awal masa jabatan. Ibaratnya, Presiden dan para kepala daerah dapat mulai “menyanyikan lagu pembangunan dalam irama yang sama” di awal periode. Pemisahan pemilu berarti asumsi keselarasan otomatis melalui kesamaan start pemerintahan tidak lagi ada. Akibatnya, perlu ada strategi baru agar program nasional dan daerah tetap sinkron meski tempo politik berbeda.

Potensi masalah yang dikhawatirkan adalah fragmentasi arah pembangunan. Pemerintah pusat mungkin menetapkan prioritas nasional baru (misal target investasi, proyek strategis nasional, program sosial) segera setelah Pemilu Presiden, sementara di lapangan kepala daerah berada dalam siklus politik berlainan: sebagian baru terpilih dua tahun kemudian, sebagian lainnya sudah mendekati akhir masa jabatan ketika program pusat dimulai. Situasi ini bisa membuat implementasi program nasional tidak seragam. Sebagai contoh, jika pemerintah pusat 2029 memiliki agenda besar reformasi birokrasi dan digitalisasi sampai ke tingkat desa, efektivitasnya akan bergantung pada dukungan kepala daerah. Kepala daerah hasil Pilkada 2024 (yang menjabat sampai 2029) mungkin antusias mendukung di sisa waktu, tetapi begitu masa jabatannya habis, program bisa terhenti sementara menunggu kepala daerah baru 2031. Ketidaksinkronan siklus ini berpotensi mengganggu kelanjutan program jika transisi tidak dikelola baik. Fenomena serupa terlihat di negara yang pemilu pusat-daerahnya terpisah: di Amerika Serikat misalnya, sering terjadi perubahan kebijakan di tingkat negara bagian setelah pemilu midterm yang tidak sejalan dengan kebijakan federal baru. Tanpa forum koordinasi, hal ini dapat menghambat proyek nasional yang memerlukan peran pemda.

Meski demikian, para pakar berpendapat sinkronisasi program tidak harus bergantung pada jadwal pemilu yang serentak. Kunci harmonisasi ada pada mekanisme koordinasi dan perencanaan lintas level. Inovasi tata kelola diperlukan untuk menjawab tantangan ini. Pertama, penyusunan dokumen perencanaan pembangunan harus diintegrasikan lebih baik. Disarankan melakukan peninjauan ulang siklus RPJMN dan RPJMD agar tetap selaras meski jadwal pemilu beda. Misalnya, RPJMN nasional 2025–2029 akan dievaluasi di 2029; pada saat itu, bisa disiapkan kerangka RPJMN 2030–2034 yang menjadi acuan bagi daerah menyusun RPJMD pasca Pilkada 2031, sehingga ketika kepala daerah baru dilantik, sudah ada panduan sinkronisasi dengan visi nasional jangka menengah. Kedua, perlu forum dialog rutin antar pemerintah pusat dan daerah. Forum seperti Musyawarah Pembangunan Nasional/Daerah (Musrenbang) bisa diperkuat frekuensinya. Demikian pula forum koordinasi sektoral (Misalnya Rakor antara kementerian dan dinas daerah) harus dimanfaatkan untuk menyelaraskan program setiap tahun. Negara-negara federal maju menunjukkan bahwa dialog institusional rutin jauh lebih penting untuk sinkronisasi daripada sekadar menyamakan jadwal pemilu. Di Jerman dan Kanada, meski pemilu federal dan negara bagian terpisah, mereka menjaga keselarasan kebijakan melalui konsultasi antar-pemerintah, akses data bersama lintas sektor, dan mekanisme akuntabilitas lintas level. Indonesia dapat meniru dengan memperkuat koordinasi Kemendagri, Bappenas, dan kementerian teknis dengan pemerintah daerah secara struktural.

Baca juga : Dampak Konflik Iran-Israel pada Minyak dan Energi Indonesia

Ketiga, instrumen insentif fiskal bisa menjadi alat sinkronisasi. MK dalam pertimbangannya menyebut perlunya sistem insentif yang terukur agar pusat-daerah tetap satu irama meski berbeda tempo. Artinya, pemerintah pusat dapat memberikan Dana Insentif Daerah (DID) atau penghargaan anggaran lain bagi daerah yang berhasil melaksanakan program nasional prioritas, terlepas kapan pilkadanya. Ini mendorong daerah tetap menjalankan agenda nasional walau siklus politik berbeda. Keempat, peningkatan peran pengawasan non-pemerintah. Dengan tidak bersamaan, ada jeda di mana pusat atau daerah tanpa legitimasi electoral baru. Lembaga seperti DPRD dan DPR RI, juga media dan masyarakat sipil, mesti mengawal agar program pemerintah tidak mandek dalam masa transisi. Misal, ketika kepala daerah dijabat Penjabat, DPRD harus aktif memastikan program pusat yang butuh eksekusi daerah tetap berjalan.

Perlu dicatat, sinkronisasi program bukan hanya tantangan Indonesia. Hanya 16 dari 200 negara yang mengadakan pemilu nasional dan lokal bersamaan sepenuhnya; mayoritas negara lain menjalankan siklus terpisah. Banyak negara sukses membangun keselarasan lintas level meski pemilu tidak serentak. Contoh, Amerika Serikat memisahkan pemilu Presiden (tiap 4 tahun) dengan pemilu paruh waktu untuk Kongres (tiap 2 tahun di sela) sehingga pemilih dapat fokus isu berbeda di tiap pemilihan. Meskipun hal ini kadang menghasilkan pembagian kekuasaan (misal Presiden dari partai X, DPR dikuasai partai Y pasca midterm), sistem pemerintahan tetap stabil karena mekanisme check and balance dan tradisi kompromi kebijakan. Jerman juga menggelar pemilu federal (Bundestag) dan pemilu negara bagian (Landtag) pada jadwal terpisah; hasilnya, partisipasi warga terjaga tinggi di kedua level karena setiap pemilihan dianggap penting pada kualitasnya sendiri. Di Jerman, kualitas partisipasi dan representasi dianggap lebih utama daripada kecepatan atau efisiensi semu dari pemilu serentak. Pemerintahan federal dan Länder berkoordinasi melalui Bundesrat (semacam dewan perwakilan daerah) untuk menyinkronkan kebijakan, alih-alih mengandalkan keserentakan pemilu.

Berkaca dari pengalaman internasional dan rekomendasi pakar, Indonesia dapat menjaga sinkronisasi program nasional-daerah melalui perencanaan terpadu dan koordinasi intensif. Pemisahan pemilu justru menjadi momentum untuk menata ulang hubungan pusat-daerah yang lebih strategis. Harmonisasi tak lagi mengandalkan kesamaan start jabatan, melainkan penyamaan visi dan target yang disepakati bersama. Dengan forum komunikasi reguler, transparansi data pembangunan, dan akuntabilitas bersama, pembangunan pusat-daerah tetap dapat berjalan paralel meski siklus politik berbeda tempo. Pada akhirnya, keberhasilan sinkronisasi ini akan tercermin dari seberapa mulus program prioritas nasional dapat dijalankan di daerah pada masa transisi 2029–2031 dan seterusnya. Jika koordinasi kuat, rakyat kemungkinan tidak terlalu merasakan adanya perbedaan ritme politik; yang mereka lihat adalah kesinambungan layanan dan pembangunan.

Perbandingan Internasional: Praktik Pemisahan Pemilu di Negara Lain

Banyak negara di dunia memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal, dan Indonesia bukan pengecualian dalam hal ini. Menurut data International IDEA (2023), hanya 16 dari 200 negara yang mengadakan pemilu nasional dan sub-nasional secara serentak penuh; artinya mayoritas negara justru menjalankan pemilu tingkat nasional dan lokal di waktu berbeda-beda. Pola ini lazim terutama di negara-negara dengan sistem federal atau desentralisasi tinggi, walaupun negara unitary juga banyak yang memisah jadwal pemilu pusat-daerah. Berikut beberapa contoh dan dampaknya:

Amerika Serikat

Sebagai negara federasi, AS memiliki jadwal terpisah untuk pemilu nasional dan negara bagian/lokal. Pemilu Presiden dan Kongres digelar setiap 4 tahun (Presiden) dan 2 tahun (DPR tiap 2 tahun, Senat sepertiga tiap 2 tahun), sementara pemilu Gubernur, legislatif negara bagian, hingga walikota tersebar dan sering jatuh tidak bersamaan dengan pemilu federal. Tujuannya agar pemilih dapat fokus pada isu sesuai level pemerintahan yang dipilih. Dampaknya, pemilih AS umumnya membedakan preferensi mereka antara pemilu nasional dan lokal. Stabilitas pemerintahan dijaga dengan masa jabatan tetap (Presiden 4 tahun, anggota DPR 2 tahun, Senator 6 tahun) sehingga meskipun hasil pemilu midterm bisa mengubah mayoritas di parlemen, roda pemerintahan pusat tetap berjalan dengan pemerintah yang ada (tidak ada pembubaran pemerintahan karena sistem presidensial). Stabilitas politik terjamin oleh konstitusi, meski terjadinya “divided government” (Presiden vs mayoritas oposisi di Kongres) kerap memaksa kompromi kebijakan. Dari sisi efisiensi kebijakan, terpisahnya jadwal membuat pemerintah pusat memiliki periode evaluasi di midterm: jika kinerja buruk, akan dikoreksi oleh pemilih dengan memilih oposisi di Kongres. Ini dianggap meningkatkan akuntabilitas, walau diakui bisa menghambat kelancaran agenda Presiden (gridlock) jika polarisasi tinggi. Namun AS menangani ini melalui sistem checks and balances dan federalisme yang jelas pembagian kewenangannya, sehingga kebijakan di tingkat federal dan state bisa berbeda tanpa mengganggu stabilitas nasional.

Jerman

Di Jerman, pemilu Bundestag (parlemen federal) dilakukan tiap 4 tahun, terpisah dari pemilu Landtag (parlemen negara bagian) yang jadwalnya berbeda di masing-masing 16 Länder. Tujuan utamanya untuk menjamin efektivitas partisipasi – pemilih dapat memberikan perhatian penuh pada politik federal saat pemilu nasional, dan fokus pada isu regional saat pemilu negara bagian. Sistem ini dianggap memperkuat kualitas demokrasi: angka partisipasi di kedua level cukup tinggi, dan pilihan pemilih di negara bagian lebih otonom tidak selalu mengikuti tren nasional. Stabilitas pemerintahan terjaga karena pembentukan pemerintah federal tidak terkait langsung dengan hasil pemilu di negara bagian (meski partai bisa kena “efek ikutan” politik nasional, tetap ada jeda waktu dan faktor lokal yang mempengaruhi). Misalnya, partai petahana di federal mungkin kalah di beberapa pemilu negara bagian jika kebijakan nasionalnya tidak populer, tapi hal itu tidak menjatuhkan pemerintahan federal, hanya menjadi sinyal politik untuk evaluasi. Dalam hal efisiensi kebijakan, Jerman mengandalkan mekanisme Bundesrat (dewan perwakilan negara bagian di pusat) untuk memastikan kepentingan daerah diakomodasi dalam legislasi nasional. Walau jadwal pemilu berbeda, kebijakan nasional-daerah disinkronkan melalui koordinasi formal. Jadi, terpisahnya siklus tidak menurunkan efisiensi; justru dianggap membuat kebijakan lebih matang dan berlegitimasi karena proses perumusan kebijakan berjalan terus tanpa terganggu jadwal pemilu serentak. Seperti dikemukakan pengamat, di Jerman kualitas hasil pemilu dan kebijakan lebih diutamakan daripada kecepatan atau “kemudahan” akibat keserentakan.

India

India dapat menjadi studi banding sebaliknya, yakni negara yang awal kemerdekaan punya siklus pemilu nasional dan negara bagian bersamaan, namun kemudian terpisah. Pemilu Lok Sabha (parlemen nasional) dijadwalkan 5 tahunan, sedangkan pemilu Majelis Legislatif Negara Bagian bervariasi dan kini hampir setiap tahun ada pemilu di beberapa negara bagian. Dampaknya, India mengalami apa yang disebut banyak analis sebagai “pemilu terus-menerus”, di mana setiap tahun selalu ada kontestasi elektoral besar. Ini memicu wacana “One Nation, One Election” untuk menyatukan kembali jadwal pemilu demi efisiensi biaya dan waktu pemerintah. Dari sisi stabilitas pemerintahan, sebenarnya India tetap stabil – pemerintah pusat hasil pemilu nasional berkuasa penuh masa 5 tahun, terlepas dari hasil pemilu negara bagian. Namun, pemerintah (baik pusat maupun negara bagian) sering menerapkan kebijakan populis jangka pendek menjelang berbagai pemilu lokal, yang sedikit banyak memengaruhi disiplin fiskal dan konsistensi kebijakan jangka panjang. Efisiensi kebijakan bisa terganggu karena kode etik pemilu (model caretaker government) sering diberlakukan di negara bagian menjelang pemilu, membatasi pengambilan keputusan kebijakan selama periode tersebut. Ini menandakan bahwa pemilu terpisah yang terlalu sering dapat menghambat ritme kebijakan yang stabil. Tak heran, wacana menyinkronkan pemilu muncul sebagai solusi, walaupun tantangannya besar. Kasus India menjadi pengingat bahwa pemisahan pemilu perlu didesain agar jadwalnya tidak berlebihan frekuensinya dan mekanisme transisi kebijakan diatur jelas, supaya tidak terus-menerus mengganggu jalannya pemerintahan.

Kanada dan Inggris

Kedua negara ini juga memisahkan pemilu nasional dengan lokal (provinsi/state atau daerah). Kanada mirip federal model: pemilu Parlemen federal tiap 4 tahun, pemilu provinsi diatur masing-masing (umumnya terpisah). Mereka mengandalkan Council of the Federation dan pertemuan rutin PM dengan para Premier (kepala provinsi) untuk menyelaraskan kebijakan antar level, sehingga stabilitas federasi terjaga meski politik elektoralnya asynchronous. Inggris sebagai negara kesatuan mengadakan pemilu parlemen nasional setiap 5 tahun, sementara pemilu lokal (dewan kotapraja, walikota) diadakan hampir setiap tahun dengan skala berbeda. Dampaknya, partai berkuasa di pusat bisa dievaluasi publik melalui pemilu lokal mid-term, tapi pemerintah nasional tetap berjalan penuh karena sistem parlementer (pemilu lokal tidak memengaruhi keabsahan pemerintah pusat). Efisiensi kebijakan di Inggris tidak banyak terpengaruh siklus lokal, karena kewenangan pemerintah lokal terbatas dan pendanaan banyak ditentukan pusat. Hal menarik, pemilu terpisah di Inggris justru digunakan sebagai barometer politik: kekalahan partai pemerintah di pemilu lokal sering jadi alarm untuk mengoreksi program atau mengganti pimpinan sebelum pemilu nasional berikutnya.

Dari berbagai perbandingan di atas, tampak bahwa pemisahan pemilu bukan hal asing di dunia. Dampaknya beragam, tetapi ada benang merah: (a) Stabilitas pemerintahan tetap terjaga asalkan aturan main konstitusional jelas (masa jabatan fixed, tidak tergantung pemilu lain) dan ada kultur politik menerima hasil pemilu di tiap level. (b) Efisiensi kebijakan bisa terpelihara melalui koordinasi antar pemerintah dan institusi perumus kebijakan lintas level. Negara-negara maju menunjukkan bahwa jadwal pemilu yang berbeda dapat diimbangi dengan mekanisme integrasi kebijakan yang terstruktur. Bahkan, beberapa ahli menilai model pemilu tidak serentak lebih “manusiawi” dan adaptif bagi masyarakat majemuk. Demokrasi yang baik bukan soal seberapa serentak memilih, tapi seberapa efektif representasi yang dihasilkan dan seberapa stabil pemerintah bekerja di semua tingkat.

Pelajaran bagi Indonesia: dengan pemilu nasional dan daerah terpisah, Indonesia bergabung dengan pola umum dunia. Pengalaman negara lain memberi petunjuk agar kita memperkuat kelembagaan koordinasi pusat-daerah, memastikan ada forum rutin pasca pemilu untuk menyelaraskan agenda. Selain itu, perlu mengantisipasi frekuensi pemilu supaya tidak terlalu sering mengganggu jalannya pemerintahan: misalnya mengelompokkan pemilu-pemilu lokal dalam satu tahun tertentu (seperti Pilkada serentak regional) agar tidak setiap tahun ada pemilu besar. Dari segi pembiayaan, pemerintah harus siap mengalokasikan anggaran lebih, namun dapat belajar efisiensi dari negara-negara dengan pemilu terpisah dan memanfaatkan teknologi untuk menekan biaya. Yang tak kalah penting, edukasi politik masyarakat perlu ditingkatkan agar pemilih memahami isu di tiap level pemerintahan dan terhindar dari kelelahan memilih. Dengan demikian, terpisahnya pemilu justru akan mencerdaskan pemilih – mereka dapat lebih mendalami visi-misi calon di tiap level tanpa tekanan informasi berlebih – sehingga hasil yang didapat adalah pemimpin pusat dan daerah yang sama-sama legitimate dan efektif.

Kesimpulan

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 menghadirkan perubahan fundamental dalam arsitektur pemilu Indonesia. Aspek politik diproyeksikan lebih sehat dengan ruang bagi isu lokal, penguatan kader partai, dan kampanye yang lebih fokus, meskipun tantangan biaya dan potensi “kampanye abadi” perlu dikendalikan. Pelaksanaan pemerintahan diharap lebih terjaga dari sisi beban kerja dan kesinambungan administratif, asalkan transisi diatur rapi untuk mencegah kevakuman dan fragmentasi koordinasi. Sinkronisasi program pusat-daerah memang tidak otomatis lagi lewat keserentakan jabatan, tapi dapat dicapai lewat penataan siklus perencanaan, dialog intensif, dan insentif kebijakan lintas level. Secara internasional, model ini sejalan dengan praktik banyak demokrasi yang berhasil mempertahankan stabilitas dan efisiensi pemerintahannya melalui mekanisme federalisme dan koordinasi antar-pemerintah, meskipun harus diwaspadai pula sisi negatif berupa frekuensi kontestasi yang lebih tinggi.

Akhirnya, keberhasilan pemisahan pemilu ini sangat bergantung pada langkah lanjut: revisi regulasi pemilu secara menyeluruh, penguatan institusi penyelenggara di pusat dan daerah, serta komitmen para aktor politik untuk beradaptasi dengan semangat baru pemilu yang lebih ideal. Dengan persiapan matang, pemilu nasional dan daerah yang terpisah dapat “memberi napas” bagi demokrasi Indonesia – menciptakan pemilu yang lebih bermakna bagi rakyat, meningkatkan kualitas kepemimpinan di tiap level, tanpa mengorbankan stabilitas pemerintahan dan kesinambungan pembangunan.


Sumber Referensi :

Anggota DPR hormati putusan MK soal pemisahan pemilu - ANTARA News

Perludem Dorong Revisi UU Segera Dimulai Usai Putusan MK soal Pemilu Nasional-Daerah Dipisah

Pengamat: Pemisahan pemilu beri ruang politik lokal lebih menonjol - ANTARA News

MK Putuskan Pisah Pemilu Nasional dan Daerah, Apa Alasannya? - MetroTV News

Ketika Pemilu 2029 Dipisah: Untung atau Rugi? - DetikNews

Mengapa MK memisahkan pemilu nasional dan lokal mulai 2029? - ANTARA News

Perludem: Putusan MK Jadi Momen Tepat Bahas Revisi UU Pemilu-Pilkada | IDN Times

Pemilu Pusat dan Daerah Tak Lagi Serentak: Mengurai Beban, Mencari Napas - Kompas

Dampak Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah - Riau24

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama