Masa Kerajaan Hindu-Buddha di Jawa
Tarumanagara dan Mataram Kuno
Salah satu kerajaan tertua di Jawa adalah Tarumanagara (abad ke-4–7 M) di Jawa Barat, yang dipimpin Raja Purnawarman pada puncak kejayaannya. Prasasti-prasasti Tarumanagara menunjukkan adanya pengaruh kuat budaya India: Raja Purnawarman disebut memuja dewa Wisnu dan nama raja berakhiran “-warman” (dari -varman) sebagai gelar kebesaran. Hal ini menandakan bahwa sejak awal, konsep dewa-raja telah diadopsi, di mana raja dipandang laksana titisan dewa dengan kekuasaan absolut. Tradisi kepemimpinan monarki terpusat seperti ini berakar kuat di Jawa kuno dan menjadi dasar struktur politik selanjutnya. Contohnya, Kerajaan Mataram Kuno (Kerajaan Medang) yang berdiri pada abad ke-8 hingga ke-11 M di Jawa Tengah dan Timur, diperintah oleh tiga dinasti (Sanjaya, Syailendra, dan Isyana). Dinasti Sanjaya (Hindu) dan Syailendra (Buddha) menunjukkan bahwa penguasa Jawa mampu mengelola keragaman agama dalam kerangka monarki terpusat. Kemampuan Mataram Kuno membangun monumen kolosal (seperti Candi Borobudur dan Prambanan) mencerminkan adanya birokrasi terstruktur dan kepemimpinan kuat. Pola kepemimpinan feodal-aristokratis dari era ini berakar dalam budaya Jawa, dan banyak nilai tradisionalnya (loyalitas pada raja, hierarki kaku) terus hidup dalam sistem sosial-politik hingga era modern.
Kejayaan Majapahit dan warisannya
Puncak peradaban Jawa pra-Islam ditandai oleh Kerajaan Majapahit (±1293–1500 M). Majapahit berhasil mewujudkan kesatuan politik Nusantara dalam skala luas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di bawah Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, Majapahit menaklukkan atau memengaruhi sebagian besar wilayah kepulauan Nusantara, dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Semenanjung Malaya. Pengaruh Majapahit tidak hanya militer, tetapi juga ekonomi dan budaya – para saudagar Jawa menguasai perdagangan di perairan Nusantara saat itu. Majapahit membangun struktur pemerintahan monarki terpusat dengan birokrasi teratur; raja dianggap sebagai pemimpin tertinggi yang didukung para menteri, pejabat, dan adipati di daerah. Konsep “Nusantara” sebagai wilayah politik terpadu adalah warisan Majapahit yang menginspirasi para pendiri Indonesia modern untuk menyatukan berbagai pulau dalam satu negara. Bahkan, semboyan nasional “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi tetap satu) diambil dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, pujangga Majapahit. Warisan ini menunjukkan bahwa semangat persatuan dalam keberagaman dan cita-cita penyatuan wilayah telah lama tertanam dalam kepemimpinan Jawa. Hingga kini, referensi kejayaan Majapahit sering dijadikan legitimasi historis konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempersatukan bekas wilayah Hindia Belanda laksana Majapahit menyatukan Nusantara.
![]() |
sumber : wikipedia |
Kepemimpinan pada masa Hindu-Buddha di Jawa bercirikan monarki herediter yang terpusat dan berjenjang. Raja-raja menempatkan kerabat atau bangsawan sebagai penguasa daerah (misalnya gelar adipati, bhre, dll. di Majapahit) untuk mengontrol wilayah luas. Pola administrasi dan stratifikasi sosial-feodal ini menciptakan budaya politik paternalistik: rakyat wajib hormat dan patuh pada raja dan elit, sementara raja idealnya melindungi rakyat bagaikan “bapak” bagi rakyatnya. Nilai-nilai tersebut – seperti harmoni, hierarki, dan loyalitas personal – melekat dalam budaya Jawa dan kelak mewarnai gaya kepemimpinan nasional Indonesia. Singkatnya, era kerajaan Hindu-Buddha meletakkan dasar konsep kepemimpinan karismatis dan terpusat di Jawa, lengkap dengan mitos raja adil dan kuat yang tetap dihormati meski zaman berubah.
Baca Juga :
Infografis: Jejak Kepemimpinan Jawa dalam Sejarah Indonesia
Infografis: Jejak Kepemimpinan Jawa dalam Sejarah Indonesia
Islamisasi dan Kesultanan di Jawa
Memasuki akhir abad ke-15, pengaruh Islam mulai menggeser dominasi Hindu-Buddha di Jawa. Proses Islamisasi berlangsung damai melalui dakwah Wali Songo dan hubungan dagang, diikuti transformasi kerajaan-kerajaan Jawa menjadi kesultanan Islam. Kesultanan Demak (awal abad ke-16) adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, didirikan oleh Raden Patah (seorang bangsawan keturunan Majapahit). Demak berperan penting mengakhiri sisa kekuasaan Majapahit dan menyebarkan Islam di Jawa. Pada masa Sultan Trenggana, Demak menjadi kekuatan politik terbesar di Jawa dan menempatkan para adipati sebagai perpanjangan tangan sultan di daerah (melanjutkan tradisi administrasi teritorial Majapahit). Demak juga menghadapi tantangan baru berupa kedatangan kolonialis Eropa; penaklukan pelabuhan Sunda Kelapa tahun 1527 oleh Fatahillah (panglima Demak) bertujuan mencegah Portugis bercokol di Jawa. Pola kepemimpinan Demak masih bercorak monarki terpusat: sultan memegang kekuasaan absolut (berbasis konsep daulat raja dalam Islam) didukung para wali dan ulama sebagai penasihat spiritual. Legitimasi raja tak lagi sebagai dewa, melainkan sebagai khalifatullah (wakil Tuhan) di bumi, namun secara praktik posisi sultan tak jauh berbeda dengan raja sebelumnya – tetap dipandang tinggi dan memegang kendali penuh kerajaan.
Kesultanan Mataram Islam (berdiri akhir abad ke-16) melanjutkan tradisi kerajaan Jawa di era Islam. Didirikan oleh Panembahan Senapati di Mataram (Kotagede), kesultanan ini mencapai puncaknya di bawah Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1645). Sultan Agung dikenal memodernisasi tata pemerintahan dan memperluas wilayah melalui penaklukan militer. Ia menerapkan sentralisasi kekuasaan secara tegas – mengurangi otonomi penguasa daerah (para adipati dan bupati) dan memastikan semua wilayah berada di bawah kendali langsung keraton. Struktur birokrasi ditata ulang dengan hierarki yang jelas dan integrasi administrasi serta keuangan pusat. Dengan demikian, Mataram meneruskan pola “raja kuat – pusat kuat” yang sudah ada sejak era Majapahit. Sultan Agung juga memadukan budaya Jawa dengan prinsip Islam dalam kepemimpinannya: Ia menjunjung harmoni dan tata krama Jawa, sekaligus menegakkan keadilan sesuai syariat. Kepemimpinan Sultan Agung menjadi model ideal raja Jawa-Islam: kuat secara militer, bijaksana, patron seni budaya, serta pelindung agama. Visi penyatuan Jawa di bawah satu kuasa pun tercapai – Mataram menyatukan sebagian besar Jawa dan sekitarnya, menyerupai ambisi Majapahit di masa lampau, sebelum akhirnya kekuasaannya surut akibat konflik internal dan tekanan VOC Belanda.
Selain Demak dan Mataram, Jawa juga memiliki kesultanan lain seperti Banten dan Cirebon. Kesultanan Banten (abad ke-16–19) di ujung barat Jawa mencapai kejayaan pada era Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683). Banten menjadi pusat perdagangan internasional (terutama lada) di Asia Tenggara, makmur dan kosmopolitan. Sultan-sultan Banten menjalin hubungan diplomatik dengan Inggris, Turki Utsmani, dll., menunjukkan kemampuan pemimpin Jawa beradaptasi dalam politik global. Kesultanan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati berperan dalam penyebaran Islam di Jawa Barat dan sempat bersekutu dengan Demak, meski kemudian wilayahnya terbagi menjadi keraton-keraton kecil. Kepemimpinan di kesultanan-kesultanan Jawa tetap berwatak feodal patrimonial: Sultan beserta keluarga istana membentuk elit penguasa, sedangkan rakyat menjalankan kewajiban dengan loyalitas personal pada sultan. Namun, berbeda dari era Hindu, para sultan juga merangkul ulama dan hukum Islam sebagai bagian legitimasi. Kombinasi nilai tradisi Jawa (misal gelar Susuhunan atau Panembahan yang berarti yang disembah/dijunjung) dengan gelar Islam (Sultan, Syah) menciptakan format kepemimpinan khas Jawa-Islami. Karakter paternalistik kepemimpinan Jawa berlanjut: sultan dipandang sebagai “Bapak” dan pelindung rakyat, diimbangi konsep RAHMATAN LIL ‘ALAMIN (rahmat bagi semesta) dalam kepemimpinan Islami. Nilai harmoni, kesantunan, dan hierarki ala Jawa tetap dipertahankan, misalnya budaya “sungkeman” (royal audience di mana rakyat sujud hormat pada raja) berjalan berdampingan dengan ajaran egaliter Islam, menghasilkan kultur politik yang unik.
Pada akhirnya, masa kesultanan ini mewariskan dua hal penting bagi kepemimpinan nasional Indonesia: Pertama, jejaring elit priyayi Jawa semakin kuat. Keluarga-keluarga bangsawan (Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, dll.) kelak menjadi kelas penguasa tradisional yang berpengaruh hingga era kolonial dan kemerdekaan. Kedua, pola sentralisasi kekuasaan di Jawa makin mengakar. Mataram Islam, misalnya, membagi Jawa dalam provinsi-provinsi di bawah kerabat raja (Sultan Agung mengangkat putra/kerabat sebagai adipati Pati, Kediri, dll.), serupa sistem gubernur sekarang. Tradisi ini menguatkan pandangan bahwa Pulau Jawa merupakan pusat kekuatan politik Nusantara – pandangan yang terbawa sampai pembentukan pemerintah Indonesia (pusat pemerintahan dipilih di Jawa). Selain itu, keberlanjutan konsep “Ratu Adil” (mesiah pemimpin adil) dalam kultur Jawa-Islam terus hidup. Tokoh-tokoh pergerakan abad ke-20 kerap menggunakannya untuk mobilisasi massa (misal, K.H. Cokroaminoto dari Sarekat Islam pernah dipandang pengikutnya sebagai figur Ratu Adil), menunjukkan mitos kepemimpinan tradisional Jawa tetap ampuh dalam diskursus politik nasional.
Masa Kolonial Belanda dan Pembentukan Birokrasi
Sejak pertengahan abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20, Pulau Jawa berada di bawah dominasi kolonial Belanda (VOC lalu Pemerintah Hindia Belanda). Masa kolonial membawa perubahan besar dalam struktur kepemimpinan: kekuasaan tradisional Jawa dilemahkan dan diintegrasikan ke dalam birokrasi kolonial. Pasca Perang Jawa 1825–1830 yang dipimpin Pangeran Diponegoro (contoh terakhir perlawanan aristokrat Jawa terhadap Belanda), Belanda menata ulang pemerintahan di Jawa secara menyeluruh. Keraton-keraton yang masih berdiri (Yogyakarta dan Surakarta) dijadikan kerajaan vassal dengan otonomi terbatas, berada di bawah pengawasan Residen Belanda. Birokrasi tradisional Jawa yang sebelumnya mandiri kemudian “ditundukkan” dan ditempatkan di bawah struktur birokrasi kolonial. Para bupati, patih, dan pejabat Jawa (disebut Pangreh Praja) tetap memimpin di kabupaten/kawedanan, namun mereka diangkat dengan persetujuan Belanda dan harus melaksanakan kebijakan pemerintah kolonial. Dengan kata lain, Belanda menerapkan sistem “dual administration”: pemerintahan tidak langsung melalui elit lokal tetapi dikendalikan oleh pejabat kolonial Eropa.
Dalam proses ini, lahirlah kelas priyayi birokrat baru. Priyayi adalah kelas elit tradisional Jawa (bangsawan dan pejabat tinggi). Kolonial Belanda mempertahankan keberadaan priyayi dengan memberi mereka jabatan administratif (bupati, wedana, asisten wedana, dsb.), bahkan menyediakan hak-hak istimewa (tanah lungguh, gelar raden, dsb.). Priyayi memonopoli posisi pemerintahan lokal, menjadi pilar utama sistem indirect rule kolonial. Pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah priyayi (seperti Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren, OSVIA) untuk mendidik kaum elit Jawa agar cakap menjalankan administrasi modern. Hasilnya, terbentuk birokrasi yang unik: secara formal mengikuti aturan rasional-legal ala Eropa, tapi secara kultural masih dijiwai etos feodal Jawa. Para priyayi kolonial misalnya, di satu sisi harus mematuhi hukum dan perintah Gubernur Jenderal, namun di sisi lain mereka tetap berperilaku bak bangsawan tradisional terhadap rakyatnya. Sikap mental priyayi – menjaga wibawa, status, dan “keagungan” di hadapan bawahan – bercampur dengan tuntutan efisiensi birokrasi Barat, seringkali menimbulkan paradoks. Banyak nilai tradisional (patronase keluarga, budaya sungkan/hormat, simbolisme status) dipertahankan di kalangan priyayi, bahkan ketika mereka menjalankan tugas sebagai aparat kolonial. Akibatnya, kultur patrimonial dalam birokrasi kian mengakar: pejabat merasa dirinya “tuan” atas rakyat (bukan semata pelayan publik), cenderung otoriter, namun di saat sama harus loyal ke atas (kepada kolonial). Birokrasi kolonial di Jawa dengan demikian mewarisi dua wajah: wajah modern (aturan, struktur hierarkis dari Belanda) dan wajah tradisional (hierarki patron-klien ala keraton).
Pada awal abad ke-20, Belanda mulai menerapkan Politik Etis yang sedikit membuka partisipasi pribumi terdidik dalam pemerintahan. Dibentuk dewan semacam Volksraad (Dewan Rakyat) tahun 1918, dan beberapa kaum pribumi (banyak dari Jawa) diangkat menjadi anggota dewan penasihat. Namun, secara umum struktur kekuasaan tetap Jawa-sentris dan elit-sentris: Pulau Jawa dijadikan pusat administrasi Hindia Belanda, dengan Batavia (Jakarta) sebagai ibu kota kolonial. Jawa menikmati pembangunan prasarana dan pendidikan lebih awal dibanding wilayah luar (karena menjadi pusat kegiatan ekonomi-politik kolonial). Ini menyebabkan lahirnya kelas menengah terpelajar di Jawa (dokter, guru, pegawai) yang kelak memimpin gerakan kebangsaan. Meskipun demikian, hingga akhir kolonial, kultur politik tradisional masih kuat di birokrasi. Sejarawan mencatat bahwa nilai-nilai feodal aristokratis dari masa lampau cenderung lebih mewarnai sosok birokrasi pemerintah Indonesia modern, karena birokrasi ini berakar dari tradisi sosio-politik Jawa. Dengan kata lain, warisan kolonial di bidang pemerintahan adalah negara terpusat dengan birokrasi hierarkis yang banyak diisi (dan diatur) oleh elit Jawa. Begitu Indonesia merdeka, struktur warisan ini tidak serta-merta hilang – ia justru diambil alih dan diadaptasi oleh republik baru, dengan para mantan priyayi dan pegawai kolonial menjadi tulang punggung administrasi negara.
Singkatnya, masa kolonial membentuk struktur kepemimpinan nasional bercorak birokrasi modern, namun mentalitas dan dominasinya tetap dipengaruhi pola Jawa. Para pemimpin lokal Jawa (bupati, wedana) di era kolonial bisa dianggap cikal bakal “pejabat negara” Indonesia, hanya berganti atasan dari Belanda ke republik. Tak heran jika setelah merdeka, pemerintahan Indonesia mewarisi sifat-sifat birokrasi kolonial: sentralistis, elitistis, dan paternalistik, yang sejatinya merupakan sintesis nilai Eropa dan tradisi politik Jawa.
Pergerakan Nasional dan Tokoh-tokoh dari Jawa
Kaum terpelajar pribumi hasil politik etis dan modernisasi pendidikan kolonial mulai menggagas pergerakan nasional di awal abad ke-20. Menariknya, inisiatif awal perjuangan kebangsaan banyak lahir di Jawa dan dipimpin oleh tokoh-tokoh Jawa, terutama dari kalangan priyayi dan santri terdidik. Organisasi modern pertama, Budi Utomo (20 Mei 1908), didirikan oleh dr. Sutomo dan mahasiswa STOVIA di Batavia – semuanya priyayi Jawa muda. Budi Utomo bertujuan memajukan pendidikan dan kebudayaan, awalnya terbatas untuk orang Jawa. Memang, Budi Utomo bersifat Jawa-sentris dan keanggotaannya terbatas pada pelajar serta priyayi rendahan (pegawai) dari Jawa. Pengaruhnya tidak meluas ke kalangan wong cilik atau suku-suku luar Jawa, sehingga dianggap elit dan kurang revolusioner. Meskipun demikian, Budi Utomo menandai dimulainya era baru: kaum Jawa terpelajar mengambil peran sebagai pemimpin perubahan. Mereka mulai membayangkan identitas bersama sebagai bangsa “Hindia” atau Indonesia, melampaui identitas kedaerahan. Salah satu langkah penting adalah keputusan Budi Utomo (dan organisasi sezamannya) menggunakan Bahasa Melayu (Bahasa Indonesia) sebagai lingua franca organisasi, alih-alih Bahasa Jawa. Pilihan ini strategis untuk inklusivitas nusantara, karena Melayu lebih netral dan egaliter – tidak berlapis-lapis tingkatan seperti bahasa Jawa. Hal ini menunjukkan kesediaan para pemimpin Jawa kala itu mengesampingkan keistimewaan kulturnya demi persatuan nasional.
Tahun-tahun berikutnya, tokoh Jawa terus bermunculan di garis depan berbagai organisasi. Sarekat Islam (SI) didirikan 1912 oleh Haji Samanhudi dan berkembang pesat di bawah kepemimpinan H.O.S. Cokroaminoto, seorang priyayi Jawa dari Madiun. Berbeda dengan Budi Utomo, SI berhasil menarik massa wong cilik (terutama pedagang dan petani) di berbagai daerah, sehingga menjadi organisasi massa pertama yang terbesar. Cokroaminoto menggabungkan spirit Islam dengan visi kebangsaan, dan menariknya ia juga memanfaatkan kepercayaan Jawa tentang Ratu Adil untuk karisma kepemimpinannya. Banyak pengikut SI memandangnya laksana pemimpin mesianis yang akan membawa keadilan. Ini menegaskan bahwa tokoh Jawa mampu mengolaborasikan simbol-simbol tradisional dengan ide modern untuk memimpin gerakan. Selain Cokro, tokoh Jawa lain seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara (R.M. Suwardi Suryaningrat) turut mendirikan Indische Partij (1912), partai politik radikal pertama yang terang-terangan menyerukan Indonesia merdeka dari Belanda. Ki Hajar kemudian mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa (1922) di Yogyakarta, meletakkan dasar pendidikan nasional anti-kolonial. Sosok priyayi radikal semacam Ki Hajar ini memperlihatkan transformasi peran elit Jawa: dari abdi kolonial menjadi pemimpin rakyat yang progresif.
Pada dekade 1920-an–1930-an, semakin banyak tokoh Jawa memimpin organisasi nasional lintas suku. Sukarno, putra Jawa kelahiran Surabaya (walau berdarah campuran Jawa-Bali), muncul sebagai tokoh sentral. Ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, dengan visi kemerdekaan total. Sukarno dikenal piawai merangkum gagasan kebangsaan, Islam, dan marhaenisme (kerakyatan) dalam pidato-pidatonya yang memukau rakyat. Gaya kepemimpinannya sangat dipengaruhi kultur Jawa: pandai berorasi dengan metafora wayang, kharismatik bak Ratu Adil, dan mampu menjadi bapak pelindung bagi rakyat kecil. Meski demikian, ia juga inklusif – merangkul tokoh non-Jawa seperti Mohammad Hatta (Minangkabau) sebagai dwitunggal kepemimpinan. Kombinasi Sukarno-Hatta ini ibarat simbol persatuan Jawa dan luar Jawa dalam revolusi. Di sisi lain, Sumpah Pemuda 1928 – dicetuskan dalam Kongres Pemuda II di Batavia – merupakan momen kunci di mana pemuda berbagai suku (termasuk banyak pemuda Jawa) berikrar bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa persatuan Indonesia. Yang menarik, para pemuda Jawa rela menempatkan identitas nasional di atas identitas suku. Figur seperti Soegondo Djojopoespito (ketua kongres, seorang Jawa) dan Amir Syarifuddin (Sekretaris, Batak) bekerja bersama menunjukkan kepemimpinan kolektif lintas etnis mulai terbentuk, meskipun dominasi secara jumlah tetap dipegang pemuda Jawa saat itu.
Menjelang Proklamasi 1945, jaringan tokoh nasionalis semakin kuat dengan keterlibatan banyak figur Jawa. Selain Sukarno, ada Sutan Sjahrir (walau Minang, tapi beroperasi di Jawa), Ahmad Subardjo, Sutomo (Bung Tomo), Sujono dan lain-lain yang berperan. Puncaknya, pada Proklamasi 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta tampil sebagai Proklamator. Sukarno – tokoh Jawa – menjadi Presiden pertama RI, menggambarkan kepercayaan bangsa pada kepemimpinannya. Sementara itu, perumusan dasar negara Pancasila juga tak lepas dari pengaruh pemikiran Jawa: konsep Ketuhanan yang Maha Esa misalnya, dipandang sejalan dengan asas kejawen yang monoteistik sinkretis, dan musyawarah mufakat mengingatkan pada tradisi rembug desa di Jawa. Dengan demikian, era pergerakan nasional memperlihatkan transformasi elit Jawa dari pelaksana birokrasi kolonial menjadi pemimpin gerakan rakyat. Mereka membawa ke panggung nasional warisan kecakapan administrasi, jaringan, dan simbol budaya Jawa, lalu meleburkannya dengan ide modern (nasionalisme, demokrasi, Islam modern) untuk memimpin Indonesia menuju kemerdekaan.
Peran Pulau Jawa dalam Kemerdekaan dan Pembentukan Pemerintahan RI
Pulau Jawa menjadi arena utama sekaligus pusat kepemimpinan dalam revolusi kemerdekaan Indonesia 1945–1949. Setelah proklamasi di Jakarta, pemerintahan nasional pertama dibentuk dengan komposisi tokoh yang banyak berasal dari Jawa atau setidaknya berjuang di Jawa (Sukarno dari Blitar, Hatta memang dari Sumatra Barat namun lama berkegiatan di Jawa, Ki Hadjar dari Yogyakarta, dll.). Jakarta sebagai ibu kota pertama RI tak lepas dari posisi historisnya sebagai pusat kolonial di Jawa. Ketika Jakarta jatuh dalam agresi Belanda (1946), ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta – lagi-lagi di Jawa – berkat dukungan besar Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sultan HB IX (penguasa Yogyakarta) dua hari setelah proklamasi langsung menyatakan Yogyakarta bergabung ke Republik Indonesia dan mengakui Sukarno-Hatta sebagai pemimpin sah. Ia bahkan mengeluarkan maklumat 5 September 1945 yang menegaskan Kesultanan Yogyakarta menjadi bagian wilayah RI dengan Sultan sebagai kepala daerah yang bertanggung jawab langsung ke Presiden. Tindakan ini sangat strategis karena Yogyakarta kemudian menjadi pusat pertahanan revolusi. Sultan HB IX juga memberikan dukungan nyata: menyediakan finansial dari kas keraton, logistik, bahkan gedung-gedung untuk keperluan pemerintahan dan militer RI. Jasa Sultan Yogya ini diakui dengan status Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana Sultan menjabat Gubernur seumur hidup – suatu contoh kontinuitas kepemimpinan tradisional Jawa ke dalam struktur negara modern.
Banyak pertempuran kunci revolusi terjadi di tanah Jawa, misalnya Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang melahirkan slogan kepahlawanan nasional. Tokoh-tokoh militer Jawa seperti Jenderal Sudirman (kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah) menjadi Panglima Besar TNI pertama yang memimpin gerilya melawan Belanda. Jawa menyumbang sumber daya manusia terbesar bagi tentara republik, juga menjadi lokasi basis diplomasi (perundingan Linggarjati, Renville berlangsung di Jawa). Peran Jawa juga nampak dalam hal ideologis: Sukarno kerap menggemakan spirit persatuan Nusantara dengan merujuk kejayaan Majapahit dan Sumpah Palapa Gajah Mada – ini untuk memompa semangat bahwa de facto Indonesia merupakan reinkarnasi persatuan ala Majapahit. Bisa dikatakan, pulau Jawa menjadi pusat komando dan simbol revolusi dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, perlu dicatat bahwa kontribusi daerah lain juga besar (pertempuran Medan Area, agresi Belanda di Sumatra, Sulawesi, dll.), hanya saja secara politis dan militer, keputusan penting dipusatkan di Jawa.
Dalam pembentukan struktur pemerintahan RI, pola Jawa yang sentralistis kembali tampak. Para pendiri negara menghadapi pilihan: melanjutkan bentuk negara kesatuan yang terpusat di Jawa (sebagaimana wilayah bekas Hindia Belanda dikelola dari Batavia), atau mengadopsi federalisme yang lebih desentralistis. Perbedaan pandangan ini bahkan muncul antara dua proklamator: Sukarno cenderung unitaris, Hatta cenderung federalis. Sukarno secara tegas pernah berkata, “Saya unitaris, Hatta federalis”, menunjukkan ia menginginkan Indonesia yang bersatu kuat di bawah pemerintah pusat. Pada akhir 1949, di bawah tekanan hasil Konferensi Meja Bundar, sempat dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang federal. Tetapi Sukarno dan banyak politisi Jawa lainnya melihat sistem federal itu sebagai kompromi kolonial yang bisa memecah belah negara. Benar saja, tidak sampai setahun, RIS dibubarkan (Agustus 1950) dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan RI (NKRI). Kembalinya ke negara kesatuan ini banyak digerakkan oleh lobi dan dukungan politik para pemimpin Jawa di pulau Jawa yang menggalang penolakan negara bagian. Jadi, sejak awal kemerdekaan, mindset bahwa “kekuatan di pusat (Jakarta/Yogya) harus dominan agar negara solid” itu sejalan dengan warisan tradisional Jawa tentang pusat kekuasaan yang kuat.
Pada masa Orde Lama (1945–1965), dominasi tokoh Jawa dalam kepemimpinan nasional kian nyata. Presiden Sukarno sebagai putra Jawa memegang tampuk kekuasaan tertinggi. Gaya kepemimpinannya yang karismatik, cenderung patronistik, mengingatkan pada raja Jawa tradisional. Ia dijuluki “Pemimpin Besar Revolusi” dan membangun cult of personality yang kuat di kalangan rakyat, mirip pengkultusan raja dalam tradisi lama. Sukarno sering menggunakan perumpamaan wayang dan kosmologi Jawa dalam pidato politiknya, misalnya menyebut dirinya Putra Sang Fajar atau mengutip tokoh Gatotkaca, guna beresonansi dengan budaya massa Jawa. Di akhir kekuasaannya, Sukarno menerapkan Demokrasi Terpimpin (1959–1965) yang terpusat pada figur Pemimpin Besar, sebuah penyimpangan dari demokrasi liberal yang bagi sebagian sejarawan merefleksikan corak kekuasaan Jawa tradisional – yaitu terserapnya seluruh kewenangan pada satu tokoh kharismatik di pusat.
Dominasi Tokoh Jawa dalam Politik Nasional Era Modern (Orde Baru & Reformasi)
Sejak 1966, kepemimpinan nasional Indonesia memasuki babak Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, seorang jenderal berdarah Jawa dari Yogyakarta. Soeharto melanjutkan kecenderungan dominasi tokoh Jawa di pucuk kekuasaan. Selama 32 tahun berkuasa, ia dikenal menerapkan kultur politik “ala raja Jawa” dalam pemerintahannya. Pemerintahan Orde Baru sangat sentralistis – kekuasaan nyata terpusat di Jakarta (Cendana) di tangan Soeharto – dengan pendekatan paternalistik. Budayawan Melani Budianta mencatat bahwa Soeharto sengaja mengeksploitasi budaya Jawa untuk menopang kekuasaannya: nilai Jawa tentang kesantunan dan harmoni dipakai untuk menuntut kepatuhan rakyat, dialek dan istilah Jawa meresapi idiom negara, dan Orde Baru menekankan persatuan-seragam di atas keberagaman. Pola hubungan patron-klien feodal juga tampak: Soeharto disebut sebagai “Bapak Pembangunan”, menempatkannya sebagai figur bapak yang harus dihormati tanpa kritik, sementara rakyat dan bawahan berperan laksana anak yang menurut. Dalam praktik kekuasaan, Soeharto bertingkah seperti raja Jawa modern. Ibu Tien (istrinya) pernah berujar bangga, “Bapak itu sebenarnya Raja, tapi sekarang istilah Raja tidak dipakai lagi. Yang dipakai Presiden saja”. Kenyataan ini selaras dengan pengamatan sejarawan Ong Hok Ham bahwa Soeharto memposisikan diri bak Pakubuwono (paku jagat) yang menganggap kesejahteraan negara bergantung pada dirinya. Ia memegang kuat konsep wahyu kekuasaan: merasa “ditakdirkan” menyelamatkan bangsa, sehingga enggan turun takhta. Di bawah Soeharto, simbol dan ritual Jawa kerap mewarnai politik: ia rutin tirakat puasa senin-kamis menjelang 17 Agustus, menggelar slametan, mengoleksi benda pusaka (keris, topeng Gajah Mada, gong keramat) di rumahnya untuk keberkahan. Semua ini meniru laku spiritual raja-raja Mataram kuno dan mengukuhkan aura kesaktian di sekitar kepemimpinannya.
Dominasi tokoh Jawa juga terlihat dalam struktur politik Orde Baru secara luas. Posisi kunci militer dan birokrasi banyak diisi orang Jawa atau yang berasimilasi budaya Jawa. Golkar, kendaraan politik utama Orba, meskipun partai “nasional”, dipimpin langsung oleh Soeharto dan jaringan patronnya yang sangat Jawasentris. Sentralisasi kekuasaan di Jakarta (Jawa) semakin memperkuat hegemoni politik Jawa. Pada masa Orba, hampir tidak ada tokoh luar Jawa yang bisa menyaingi pengaruh politik pusat. Jika pun ada figur non-Jawa berprestasi (misal Benny Moerdani, seorang peranakan Manado, jadi Panglima ABRI), mereka tetap harus beroperasi dalam lingkaran kekuasaan berbudaya politik Jawa. Dengan demikian, Orde Baru memperpanjang garis panjang dominasi politik Jawa di Indonesia merdeka.
Pasca jatuhnya Soeharto 1998, Indonesia memasuki era Reformasi yang lebih demokratis. Namun, secara statistik, kursi kepemimpinan nasional tertinggi masih didominasi tokoh Jawa. Sejak 1945 hingga sekarang, hampir semua Presiden RI berasal dari suku Jawa. Pengecualian hanyalah B.J. Habibie (1998–1999) yang berdarah Gorontalo, itu pun masa jabatannya singkat. Setelah Habibie, berturut-turut Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 1999–2001 (tokoh Nahdlatul Ulama, cucu pendiri NU, berasal dari Jombang Jawa Timur), Megawati Soekarnoputri 2001–2004 (putri Sukarno, lahir dan besar di Jawa), Susilo Bambang Yudhoyono 2004–2014 (kelahiran Pacitan, Jawa Timur), dan Joko Widodo 2014–sekarang (asal Solo, Jawa Tengah). Fenomena “Presiden selalu orang Jawa” menimbulkan pertanyaan mengapa demikian. Secara demografis, suku Jawa adalah kelompok etnis terbesar (sekitar 40-45% populasi Indonesia), sehingga peluang mereka menduduki pucuk pimpinan memang lebih besar. Selain itu, faktor sejarah dan budaya memberi keunggulan: orang Jawa sudah terbiasa dalam jaringan kekuasaan sejak era kerajaan dan kolonial, memiliki modal sosial-budaya yang kuat. Sejak awal kebangkitan nasional, banyak tokoh kunci berasal dari Jawa, membangun tradisi kepemimpinan yang berlanjut lintas generasi. Sentralisasi politik di Jakarta pun berperan: karena ibu kota dan pusat pemerintahan di Jawa, akses terhadap kekuasaan nasional lebih mudah bagi figur-figur dari Jawa atau yang berkarier di Jawa. Mereka memiliki basis dukungan regional besar – provinsi di Jawa berpenduduk terpadat sehingga dalam pemilihan umum demokratis, calon dari Jawa cenderung punya suara massa signifikan. Partai-parti besar pasca Reformasi juga kebanyakan dipimpin tokoh Jawa (Megawati di PDIP, SBY di Partai Demokrat, bahkan Prabowo Subianto yang berdarah campuran pun besar di lingkungan elite Jawa). Ini semua membatasi kesempatan figur non-Jawa untuk muncul sejajar di panggung nasional.
Dari sisi budaya politik, warisan nilai Jawa masih mewarnai gaya kepemimpinan era modern. Misalnya, politik konsensus dan musyawarah yang dianut Orde Reformasi memiliki kemiripan dengan prinsip rembuk desa ala Jawa, yang mengutamakan mufakat dan harmoni kelompok. Namun, di sisi lain, para analis seperti Prof. Ana N. Abrar dari UGM mengkritik bahwa budaya politik Indonesia “masih ala Jawa” – cenderung feodal dan paternalistik – sehingga kurang selaras dengan semangat demokrasi egaliter modern. Contohnya, budaya “ewuh pekewuh” (sungkan tidak enak hati) kerap membuat bawahannya enggan mengkritik atasan, atau loyalty pada figur “Bapak” partai lebih diutamakan ketimbang meritokrasi. Selama Orde Baru, praktik semacam ini merugikan kehidupan demokratis, namun hingga kini pun sisa-sisanya masih ada. Jawanisasi politik pernah menjadi sorotan – istilah ini menggambarkan kecenderungan dominasi cara Jawa dalam berbagai aspek (misal penamaan istilah pemerintahan memakai istilah Jawa seperti kabupaten, kecamatan, dsb., sentralisasi kekuasaan, dll.). Meski era Reformasi telah membawa desentralisasi (Otonomi Daerah) dan memberi ruang pada putra daerah non-Jawa untuk tampil, realitasnya tokoh puncak tetap sebagian besar orang Jawa.
Sebagai kesimpulan, perjalanan panjang sejarah di Pulau Jawa – dari masa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, era kolonial hingga pergerakan nasional – telah membentuk pola dan kultur kepemimpinan yang sangat memengaruhi struktur kepemimpinan nasional Indonesia. Kepemimpinan terpusat, berhierarki, dan bernuansa paternalistik merupakan benang merah dari tradisi politik Jawa yang diadaptasi dalam negara modern. Para pendiri bangsa yang banyak berasal dari Jawa membawa warisan itu ke panggung nasional, kemudian warisan tersebut bertransformasi sesuai konteks (dari raja menjadi presiden, dari keraton menjadi birokrasi modern) tetapi esensinya masih terlihat. Dominasi tokoh Jawa dalam politik Indonesia hingga era modern bukan semata faktor jumlah penduduk, melainkan juga produk sejarah bahwa Jawa sejak dulu adalah pusat peradaban dan kekuasaan. Tentu, Indonesia sebagai bangsa majemuk terus berupaya menyeimbangkan representasi semua suku. Ke depan, tantangannya adalah mengharmonikan kearifan budaya kepemimpinan Jawa (seperti bijaksana, menjaga harmoni) dengan prinsip demokrasi modern (partisipatif, transparan), serta mendorong partisipasi lebih besar dari putra-putri daerah lain dalam kepemimpinan nasional. Dengan memahami akar sejarah ini, diharapkan pola dominasi etnis tertentu dapat proporsional dan kepemimpinan nasional Indonesia benar-benar mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika – beragam namun tetap satu, tanpa kehilangan nilai-nilai positif warisan sejarah bangsanya.
Sumber :
Tarumanagara - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sejarah Singkat Kerajaan Mataram Kuno serta Peninggalannya
isi paramita juli 2010
Majapahit Pengaruhi Perkembangan di Indonesia - ANTARA News
Majapahit - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
File:Majapahit Empire.svg - Wikipedia
Kerajaan Demak: Sejarah, Raja-raja, Masa Kejayaan dan Keruntuhannya
Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa
Kesultanan Demak - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konsep Kepemimpinan Sultan Agung: Falsafah dan Implementasinya - Talkactive
Perbandingan Kepemimpinan Amangkurat I dan Sultan Agung ...
Masa Kejayaan Kerajaan Banten dan Rajanya - Kompas Regional
Mengenal Kesultanan Banten: Asal-usul, Puncak Kejayaan, dan ...
Independence - Early Political Movements
KERUNTUHAN BIROKRASI TRADISIONAL DI KASUNANAN SURAKARTA | Prasadana | Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya
Priyayi: Elit Sosial Jawa dan Perannya dalam Sistem Pemerintahan Kolonial - Koran Sulindo
Kisah Sultan HB IX dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Sukarno Ingin Negara Kesatuan, Hatta Rencanakan Federal | Republika Online
Menelusuri Jejak Sejarah: Dominasi Presiden Jawa di Indonesia - Harian Lingga
Jawanisasi, Sebuah Orientalisme di Indonesia - Kompasiana.com
Politik Tribalisme dalam Kepemimpinan Nasional - Kompasiana.com