Di Balik Kepercayaan: Analisis Kritis Tata Kelola dan Kepentingan Politik dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG)



Janji Mulia di Tengah Keraguan Publik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah ditetapkan sebagai salah satu program prioritas nasional di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang mulai diimplementasikan secara bertahap sejak 6 Januari 2025. Dengan tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat, mengurangi angka stunting, dan mengentaskan kemiskinan, program ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam membangun sumber daya manusia unggul menuju Generasi Emas 2045. Dukungan publik terhadap program ini sangat signifikan; sebuah survei menunjukkan bahwa 92,7% responden yang mendukung program MBG adalah pemilih Prabowo-Gibran, mengindikasikan bahwa program ini menjadi faktor kunci dalam basis elektoral mereka. Harapan besar ini ditujukan untuk meringankan beban ekonomi keluarga dan memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi yang layak.

Skala program ini sangat ambisius, dengan target menjangkau 82,9 juta penerima manfaat yang terdiri dari siswa PAUD hingga SMA/SMK, ibu hamil, dan ibu menyusui. Untuk merealisasikannya, pemerintah mengalokasikan anggaran awal sebesar Rp71 triliun hingga Juni 2025 dan menargetkan pembangunan hingga 32.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh Indonesia hingga akhir tahun 2025. Angka ini menunjukkan besarnya investasi negara untuk mewujudkan janji tersebut.

Namun, di balik janji dan harapan besar tersebut, pelaksanaan program MBG diwarnai oleh berbagai kritik dan masalah serius yang mengikis kepercayaan publik. Rentetan insiden keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah menjadi bukti nyata adanya persoalan mendasar dalam implementasi di lapangan. Sorotan tajam kini diarahkan pada aspek tata kelola, transparansi anggaran, dan efektivitas pengawasan yang dinilai belum berjalan sesuai harapan. Laporan ini akan menganalisis secara mendalam kelemahan-kelemahan tata kelola (good governance) dan potensi konflik kepentingan yang membayangi pelaksanaan program MBG, serta menawarkan rekomendasi untuk mitigasi risiko agar tujuan mulia program ini tidak tersandera oleh eksekusi yang buruk.

Krisis Implementasi: Rentetan Insiden Keracunan Massal

Insiden keracunan massal yang terjadi berulang kali di berbagai daerah merupakan manifestasi paling nyata dari kegagalan tata kelola pada tingkat implementasi program MBG. Serangkaian kejadian ini tidak hanya menimbulkan korban di kalangan siswa, tetapi juga secara drastis menggerus kepercayaan publik terhadap keamanan dan efektivitas pengawasan program. Kasus-kasus ini mempertanyakan kesiapan sistem, mulai dari pengolahan makanan, distribusi, hingga pengawasan kualitas yang seharusnya menjadi fondasi utama program berskala nasional ini.

Berikut adalah rekapitulasi rentetan insiden keracunan massal yang dilaporkan terkait program MBG sepanjang tahun 2025:

Tanggal

Lokasi (Kabupaten/Kota, Provinsi)

Jumlah Korban

Jenjang Pendidikan/Kelompok Terdampak

16 Jan 2025

Sukoharjo, Jawa Tengah

40 siswa

Sekolah Dasar (SDN Dukuh 03)

18 Feb 2025

Empat Lawang, Sumatra Selatan

8 siswa

Sekolah Dasar

14 Apr 2025

Batang, Jawa Tengah

60 pelajar

TK, SD, SMP

21 Apr 2025

Cianjur, Jawa Barat

78 siswa

Madrasah Aliyah & SMP

29 Apr 2025

Bandung, Jawa Barat

342 siswa

Sekolah Menengah Pertama (SMPN 35)

01 Mei 2025

Tasikmalaya, Jawa Barat

400 pelajar

TK, SD, SMP

06 Mei 2025

Bogor, Jawa Barat

223 siswa

TK, SD, SMP, SMA

21 Jul 2025

Kupang, Nusa Tenggara Timur

186 siswa

Sekolah Menengah Pertama (SMPN 8)

22 & 24 Sep 2025

Bandung Barat, Jawa Barat

911 siswa

SD, MTs, SMP, SMK

Akhir Sep 2025

Garut, Jawa Barat

Ratusan siswa

Siswa Sekolah

Analisis terhadap data insiden menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Pertama, lokasi kejadian tersebar di berbagai pulau—mulai dari Jawa, Sumatra, hingga Nusa Tenggara Timur—yang mengindikasikan bahwa ini adalah masalah berskala nasional, bukan sekadar persoalan lokal. Kedua, frekuensi kejadian yang konsisten, dengan kasus baru muncul hampir setiap bulan, menandakan adanya kegagalan sistemik dalam pengawasan, bukan insiden tunggal yang terisolasi. Ketiga, jumlah korban yang masif secara kumulatif memvalidasi keseriusan masalah ini dan memperkuat argumen bahwa mekanisme pengawasan terpusat yang diandalkan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) terbukti tidak efektif dalam menjangkau implementasi di tingkat lapangan.

Dampak serius dari insiden-insiden ini tercermin dari penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah, seperti di Kabupaten Garut, Cianjur, dan Bandung Barat, yang menandakan tingkat keparahan dan skala masalah yang harus segera ditangani. Sebagai respons terhadap krisis ini, BGN mengumumkan upaya pembenahan dengan mengerahkan 5.000 koki profesional dari Indonesian Chef Association (ICA) untuk melatih para juru masak di SPPG. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan standar higienitas dan gizi dalam pengolahan makanan. Namun, rentetan kejadian ini menunjukkan bahwa masalah yang ada tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga sistemik, yang berakar pada kelemahan fundamental dalam tata kelola program.

Analisis Kelemahan Tata Kelola (Good Governance)

Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) menjadi landasan fundamental bagi keberhasilan setiap program publik. Berdasarkan temuan empiris Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam studi good governance di berbagai daerah, kunci keberhasilan tata kelola mencakup adanya komitmen pimpinan, dasar hukum yang kuat, transparansi, pengawasan terbuka, dan partisipasi publik. Evaluasi terhadap program MBG menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara prinsip-prinsip ideal ini dengan praktik di lapangan. Bagian ini akan menguraikan kelemahan-kelemahan tata kelola tersebut berdasarkan tiga pilar utama: standar operasional, akuntabilitas anggaran, dan model implementasi.

Standar Operasional, Sanitasi, dan Pengawasan Kualitas

Temuan investigasi yang dilakukan oleh pimpinan DPR RI di salah satu dapur SPPG di Garut mengungkap pelanggaran serius terhadap prosedur standar. Investigasi tersebut menemukan adanya pelanggaran Standard Operating Procedure (SOP), kondisi sanitasi yang buruk, dan risiko kontaminasi silang yang tinggi. Secara spesifik, ditemukan bahwa sistem pembuangan air limbah tidak sesuai standar, sementara area memasak, mencuci peralatan, dan penyajian makanan berada dalam satu lokasi yang sama tanpa pemisahan yang memadai.

Kondisi ini mencerminkan apa yang dalam studi konflik kepentingan disebut sebagai 'kelemahan sistem' situasi di mana aturan, struktur, dan budaya organisasi yang buruk menciptakan celah sistemik bagi terjadinya penyimpangan, kelalaian, dan praktik koruptif. Sistem yang lemah menciptakan celah bagi kelalaian dan penyimpangan, di mana standar keamanan pangan dapat diabaikan demi efisiensi biaya atau keuntungan sepihak. Insiden keracunan yang terjadi secara berulang di berbagai daerah merupakan bukti kegagalan mekanisme pengawasan kualitas dan keamanan pangan. Padahal, Petunjuk Teknis (Juknis) yang diterbitkan oleh BGN telah mengamanatkan standar mutu dan keamanan pangan, namun implementasi dan pengawasannya di lapangan terbukti tidak berjalan efektif.

3.2 Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran

Program MBG dikelola dengan anggaran yang sangat besar, yaitu Rp71 triliun hingga Juni 2025, dengan potensi mencapai Rp420 triliun untuk satu tahun penuh. Skala anggaran sebesar ini menuntut tingkat transparansi dan akuntabilitas yang sangat tinggi untuk mencegah penyalahgunaan. Namun, temuan di lapangan menimbulkan keraguan serius terhadap pengelolaan dana tersebut.

Wakil Ketua DPR RI saat melakukan tinjauan di Garut menyoroti porsi makanan yang disajikan kepada siswa dinilai tidak sebanding dengan anggaran yang dialokasikan sebesar Rp10.000 per porsi. Estimasi biaya riil dari menu yang disajikan—termasuk pisang berukuran kecil dan hanya tiga butir anggur diperkirakan hanya sekitar Rp6.000. Disparitas sebesar 40% antara anggaran dan nilai riil ini bukan sekadar inefisiensi, melainkan sebuah red flag akuntabilitas yang serius, yang mengindikasikan potensi kebocoran anggaran yang sistematis.

Kekhawatiran ini sejalan dengan persepsi publik yang terekam dalam survei CELIOS, di mana 46% responden mengkhawatirkan inefisiensi penyaluran dan 37% khawatir akan adanya korupsi dalam program ini. Kerentanan ini diperkuat oleh data KPK yang menunjukkan bahwa pengadaan barang dan jasa secara konsisten menjadi jenis perkara korupsi terbanyak di Indonesia. Besarnya anggaran dan lemahnya pengawasan menjadikan program MBG sebagai lahan subur bagi praktik-praktik koruptif jika tidak dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas yang ketat.

3.3 Model Implementasi: Sentralistik vs. Desentralisasi

Pemerintah memilih model implementasi yang bersifat sentralistik untuk program MBG. Berdasarkan Juknis BGN (SK Nomor 63 Tahun 2025), program ini dijalankan melalui SPPG yang dikelola oleh "Yayasan" yang berstatus sebagai Penerima Bantuan Pemerintah. Model ini menempatkan BGN sebagai pengendali utama, mulai dari penetapan mitra, penyaluran dana, hingga pengawasan operasional.

Pilihan model sentralistik ini, dari perspektif tata kelola, secara inheren memaksimalkan risiko dan meminimalkan akuntabilitas lokal, sehingga menuai kritik tajam. Laporan CELIOS menyoroti bahwa pendekatan terpusat memiliki sejumlah kelemahan signifikan, antara lain risiko korupsi yang tinggi karena pengadaan skala besar rentan dimonopoli; inefisiensi logistik karena distribusi dari dapur terpusat cenderung lambat dan mahal; serta kurang responsif terhadap kondisi dan kearifan lokal.

Sebagai alternatif, laporan CELIOS mengusulkan dua model yang lebih terdesentralisasi:

  1. Opsi Desentralistik: Pengelolaan program diserahkan langsung kepada sekolah dengan memanfaatkan mekanisme dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sudah memiliki infrastruktur penyaluran dana langsung ke rekening sekolah. Model ini memotong rantai birokrasi dan memberdayakan sekolah untuk bermitra langsung dengan penyedia lokal.
  2. Opsi Transfer Langsung: Penyaluran dana atau voucher makanan langsung kepada penerima manfaat (keluarga siswa), dengan memanfaatkan basis data terpadu Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah terverifikasi dan berisi data keluarga miskin, sejalan dengan prinsip Individual Targeting. Model ini memberikan fleksibilitas kepada keluarga dan mengurangi beban administrasi pemerintah.

Pilihan model tata kelola ini menjadi faktor krusial yang menentukan keberhasilan, efisiensi, dan akuntabilitas program. Kelemahan-kelemahan tata kelola yang telah diuraikan ini bukan hanya menciptakan risiko inefisiensi dan kegagalan layanan, tetapi juga membuka pintu lebar bagi intervensi kepentingan politik dan konflik kepentingan, yang akan dianalisis pada bagian selanjutnya.

4.0 Mengungkap Potensi Konflik Kepentingan dan Muatan Politik

Sebuah program pemerintah berskala masif dengan anggaran triliunan rupiah seperti MBG tidak dapat dilepaskan dari dinamika dan kepentingan politik. Di balik tujuan mulianya untuk pemenuhan gizi, terdapat area-area rawan di mana kepentingan politik dan potensi konflik kepentingan dapat muncul dan berkembang. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, risiko ini dapat mengorbankan tujuan utama program dan mengubahnya menjadi arena perebutan sumber daya bagi kelompok-kelompok tertentu.

4.1 Kerangka Teoretis Konflik Kepentingan

Konflik kepentingan (atau benturan kepentingan) didefinisikan sebagai situasi di mana seorang pejabat publik memiliki kepentingan pribadi yang dapat memengaruhi objektivitas dan netralitasnya dalam menjalankan tugas dan wewenang. Persinggungan antara kepentingan profesional dan pribadi ini dapat mengurangi kepercayaan publik dan melahirkan keputusan yang tidak berpihak pada kepentingan umum. Beberapa bentuk konflik kepentingan yang sangat relevan dengan program pemerintah meliputi gratifikasi, rangkap jabatan, dan penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu.

4.2 Potensi Korupsi dalam Pengadaan dan Distribusi

Proses pengadaan dan distribusi dalam program MBG menjadi titik paling rentan terhadap praktik korupsi, terutama dengan model sentralistik yang dipilih. Model pengadaan terpusat melalui "Yayasan" atau vendor-vendor besar yang ditunjuk BGN sangat rentan terhadap praktik kolusi antara pejabat dan penyedia untuk memenangkan tender dengan harga yang digelembungkan (mark-up). Kondisi ini membuka peluang terjadinya suap atau kickback dari pemasok sebagai imbalan atas perolehan kontrak, terutama bagi kelompok yang memiliki afiliasi politik. Di level operasional, potensi penyimpangan dapat berupa manipulasi jumlah atau spesifikasi bahan makanan, penggunaan bahan berkualitas rendah yang tidak sesuai kontrak, penggelapan dana operasional, hingga pencatatan fiktif untuk menutupi penyelewengan. Sistem yang terpusat dan minim akuntabilitas lokal ini, sebagaimana dipetakan oleh CELIOS, menjadikan setiap tahapan—mulai dari pengadaan, pengelolaan anggaran, hingga pengawasan—sebagai celah bagi praktik koruptif.

Keterlibatan Militer dan Risiko Politisasi

Salah satu aspek yang menuai sorotan dalam pelaksanaan program MBG adalah keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penyiapan dapur umum di 514 lokasi di seluruh Indonesia. Meskipun dapat dipandang sebagai upaya percepatan infrastruktur logistik, langkah ini mengandung risiko politisasi program sosial sipil. Analisis CELIOS menunjukkan beberapa risiko fundamental. Pertama, adanya risiko militerisasi program sosial, di mana program yang seharusnya bersifat teknokratis dan dikelola oleh ahli gizi menjadi bernuansa politis dengan pendekatan komando. Kedua, muncul potensi inefisiensi, karena TNI tidak memiliki keahlian utama dalam manajemen pangan skala besar atau gizi anak. Ketiga, keterlibatan ini berisiko mengikis kedaulatan sipil, karena program sosial dan kemanusiaan secara fundamental merupakan domain pemerintahan sipil, bukan militer.

Pelibatan TNI, yang notabene tidak memiliki keahlian utama di bidang gizi, memunculkan pertanyaan fundamental mengenai tujuan sekunder program ini. Apakah ini murni untuk efisiensi logistik, atau ada agenda politisasi dan proyeksi kekuatan yang terselubung? Ditambah dengan model implementasi yang sentralistik dan kerentanan korupsi, hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa program MBG dapat bergeser dari misi sosial menjadi proyek yang sarat dengan kepentingan politik.

Rekomendasi Mitigasi Risiko untuk Perbaikan Tata Kelola

Meskipun program MBG dihadapkan pada tantangan tata kelola dan risiko politisasi yang serius, bukan berarti program ini tidak dapat diperbaiki. Terdapat langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk memitigasi risiko, meningkatkan transparansi, dan mengembalikan program ini ke tujuan utamanya. Rekomendasi berikut dirumuskan berdasarkan analisis risiko dari berbagai sumber dan praktik good governance yang telah terbukti di beberapa daerah.

  1. Mendesentralisasi Pengelolaan dan Pemberdayaan Komunitas Lokal Pemerintah perlu mereformasi model implementasi sentralistik yang saat ini berjalan. Sesuai rekomendasi CELIOS, pengelolaan program sebaiknya dialihkan ke tingkat lokal, baik melalui sekolah (dengan integrasi dana BOS) maupun pemerintah daerah. Pendekatan ini akan memotong rantai birokrasi yang panjang, mengurangi biaya logistik, dan memungkinkan adaptasi menu sesuai kearifan lokal. Lebih lanjut, program ini harus secara aktif memberdayakan ekonomi lokal dengan mewajibkan setidaknya 85% bahan baku berasal dari produk dalam negeri serta Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi (UMK-K).
  2. Menerapkan Sistem Pengawasan Terbuka dan Partisipatif Transparansi adalah kunci untuk mencegah korupsi dan memastikan akuntabilitas. Pemerintah harus membangun mekanisme pengawasan yang terbuka dan melibatkan partisipasi publik. Mengacu pada praktik yang berhasil sebagaimana didokumentasikan dalam studi empiris KPK, dapat dikembangkan sistem pengaduan masyarakat yang mudah diakses, seperti program Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK) di Yogyakarta atau layanan aduan via SMS ke bupati di Solok. Selain itu, perlu ada portal transparansi publik yang menyajikan data real-time mengenai alokasi anggaran, progres pelaksanaan, dan laporan audit program yang dapat diakses oleh siapa saja.
  3. Memperkuat Dasar Hukum dan Pakta Integritas Untuk menjamin keberlanjutan dan melindungi program dari intervensi politik jangka pendek, diperlukan dasar hukum yang kuat, idealnya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Berdasarkan temuan studi KPK, dasar hukum setingkat Perda memastikan program tetap berjalan meskipun terjadi pergantian pimpinan daerah. Selain itu, penerapan "Pakta Integritas" harus diwajibkan bagi semua pihak yang terlibat—mulai dari pejabat pemerintah, panitia lelang, hingga kontraktor atau penyedia jasa. Pakta Integritas ini merupakan komitmen formal untuk tidak melakukan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan disertai sanksi yang tegas bagi pelanggarnya.
  4. Menargetkan Penerima Manfaat Secara Tepat Sasaran Mengingat keterbatasan anggaran dan tantangan implementasi di fase awal, program MBG sebaiknya tidak langsung diterapkan secara universal. Sesuai analisis CELIOS, pendekatan penargetan (targeting) akan lebih efektif dan efisien. Fase awal program dapat difokuskan pada wilayah dengan prevalensi stunting tertinggi (Geographic Targeting) atau kepada individu dari keluarga miskin yang datanya telah tersedia melalui Program Keluarga Harapan (PKH) (Individual Targeting). Langkah ini akan memastikan bahwa anggaran yang terbatas memberikan dampak paling signifikan bagi kelompok yang paling membutuhkan.

Menyelamatkan Niat Baik dari Eksekusi yang Buruk

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan niat baik yang didukung oleh harapan besar publik, terutama dari kalangan masyarakat bawah yang melihatnya sebagai solusi untuk perbaikan gizi anak dan keringanan beban ekonomi. Namun, analisis mendalam menunjukkan bahwa pelaksanaan program ini secara fundamental cacat oleh kelemahan tata kelola yang parah. Berbagai masalah yang muncul, mulai dari rentetan insiden keracunan massal, dugaan inefisiensi anggaran, hingga kurangnya transparansi, bukanlah anomali, melainkan gejala dari sebuah sistem yang dirancang secara rapuh.

Model implementasi yang sentralistik, di mana pengelolaan terpusat pada lembaga baru dan mitra "Yayasan", terbukti menciptakan rantai birokrasi yang panjang, tidak efisien, dan sulit diawasi. Model ini, ditambah dengan potensi konflik kepentingan dan muatan politik yang kental—termasuk dalam proses pengadaan dan pelibatan militer—berisiko tinggi amengubah program ini dari sebuah solusi gizi menjadi proyek prestise yang rentan terhadap korupsi dan hanya menguntungkan segelintir elite.

Pada akhirnya, nasib program MBG berada di persimpangan jalan. Tanpa adanya reformasi tata kelola yang fundamental, desentralisasi kewenangan kepada pemerintah daerah dan sekolah, serta penerapan mekanisme pengawasan yang ketat dan partisipatif, program Makan Bergizi Gratis berisiko besar menjadi sebuah contoh klasik bagaimana sebuah program sosial yang ambisius gagal total. Kegagalan tersebut bukan disebabkan oleh tujuannya yang keliru, melainkan karena buruknya eksekusi, lemahnya akuntabilitas, dan kaburnya batas antara pelayanan publik dengan kepentingan politik. Menyelamatkan program ini menuntut lebih dari sekadar perbaikan teknis; ia memerlukan keberanian politik untuk merombak sistem dan memastikan setiap rupiah yang dianggarkan benar-benar sampai ke piring anak-anak Indonesia.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama